Reason in Revolt: Materialisme yang Dialektik - Perspektif
Headlines News :
Home » » Reason in Revolt: Materialisme yang Dialektik

Reason in Revolt: Materialisme yang Dialektik

Written By DPTK sepetak on Senin, 27 Desember 2010 | 09.46

By Alan Woods and Ted Grant

Wednesday, 11 July 2007

 Apa itu Dialektika?

Παντα χωρει, ουδει μενει.”
Segala hal mengalir dan tak satupun yang tinggal diam.”
(Heraclitus)
Dialektika adalah sebuah cara untuk memikirkan dan mengartikan dunia baik yang mewujud dalam alam maupun dalam masyarakat. Ia adalah sebuah cara untuk melihat alam semesta,
yang berangkat dari aksioma bahwa segala hal berada dalam kondisi yang selalu berubah dan mengalir. Tapi bukan hanya itu. Dialektika menjelaskan bahwa perubahan dan pergerakan melibatkan kontradiksi dan hanya dapat terjadi melalui kontradiksi itu. Jadi, bukannya sebuah garis progres yang mulus dan tak terputus-putus, melalui dialektika kita mendapati satu garis yang di sana-sini disela dengan masa-masa yang mendadak dan penuh gejolak, di mana akumulasi dari perubahan-perubahan yang kecil-kecil (perubahan kuantitatif) menjalani satu percepatan yang tinggi, di mana kuantitas diubah menjadi kualitas. Dialektika adalah logika dari kontradiksi.
Hukum-hukum dialektika telah diungkapkan secara rinci oleh Hegel walaupun, dalam tulisannya, hukum-hukum itu muncul dalam bentuk yang idealis dan mistis. Marx dan Engels-lah yang pertama kali memberi basis yang ilmiah, yang materialis, terhadap dialektika. “Hegel menulis sebelum Darwin dan sebelum Marx,” tulis Trotsky. “Berkat impuls maha dahsyat yang disuntikkan kepada pemikiran manusia oleh Revolusi Perancis, Hegel mengantisipasi pergerakan umum ilmu pengetahuan. Tapi karena itu hanya sekedar antisipasi, sekalipun Hegel adalah seorang jenius, dialektika tetap mendapat watak idealistik di tangannya. Hegel bekerja di bawah bayang-bayang ideologi sebagai realitas puncaknya. Marx menunjukkan bahwa pergerakan dari bayang-bayang ideologi ini tidak mencerminkan apapun selain pergerakan dari benda-benda material.”[i]
Dalam tulisan Hegel terdapat banyak contoh hukum dialektika yang disimpulkan dari sejarah dan alam. Tapi idealisme Hegel pastilah telah memberi watak yang sangat abstrak dan acak. Untuk membuat dialektika mengabdi pada “Ide Absolut”, Hegel terpaksa memaksakan sebuah skema bagi alam dan masyarakat, dengan cara yang persis bertentangan dengan dialektika itu sendiri, padahal dialektika itu menuntut kita untuk menurunkan hukum yang mengatur gejala tertentu melalui telaah yang teliti dan objektif atas subjek-materi, seperti yang dilakukan Marx di dalam Capital.
“Metode dialektika saya,” tulis Marx, “bukan hanya berbeda dengan Hegel, tapi persis kebalikannya. Bagi Hegel, proses kehidupan dari otak manusia, yaitu proses berpikir, yang di bawah panji “Ide” bahkan diubahnya menjadi satu subjek yang independen, adalah inti hakikat dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah sekedar bentuk “Ide” yang eksternal dan fenomenal. Bagi saya, sebaliknya, ide bukanlah apa-apa melainkan dunia nyata yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran.”[ii]
Ketika kita pertama kali merenungkan dunia sekitar kita, kita melihat rangkaian gejala yang demikian banyak dan kompleks, satu jaring laba-laba yang rumit dari berbagai perubahan yang berlangsung tanpa henti, sebab dan akibat, aksi dan reaksi. Kekuatan penggerak [motive force] dari penyelidikan ilmiah adalah gairah untuk mendapatkan pemahaman yang rasional atas lorong penyesat yang membingungkan ini, agar kita dapat menaklukkannya pada satu waktu. Kita mencari hukum-hukum yang dapat membedakan yang umum dari yang khusus, yang merupakan kebetulan dan yang merupakan keharusan, dan memungkinkan kita memahami kekuatan yang mendorong timbulnya gejala yang kita hadapi. Mengutip kata-kata fisikawan dan filsuf Inggris, David Bohm:
“Di alam tidak satupun yang tinggal tetap. Segala hal berada dalam peralihan, pergerakan dan perubahan yang abadi. Walau demikian, kita menemukan bahwa tidak ada sesuatupun yang muncul dari ketiadaan tanpa memiliki pendahulu yang hadir sebelum dirinya. Sama halnya, tidak ada sesuatupun yang pernah menghilang tanpa bekas, dalam makna bahwa hal ini menimbulkan keadaan di mana tidak sesuatupun yang ada di masa setelah ia menghilang. Karakter umum dunia ini dapat dinyatakan dalam satu prinsip yang kiranya meringkaskan satu himpunan besar berbagai pengalaman, dan yang belum pernah dibuktikan keliru dalam pengamatan atau percobaan apapun, baik yang ilmiah maupun tidak; yaitu, bahwa semua hal datang dari hal lain dan menimbulkan hal yang lain lagi.”[iii]
Proposisi dasar dialektika adalah bahwa segala hal berada dalam proses perubahan, pergerakan dan perkembangan yang terus-menerus. Bahkan ketika bagi kita tidak terlihat sesuatupun terjadi, dalam kenyataannya, materi selalu berubah. Molekul, atom dan partikel-partikel sub-atomik terus bertukar tempat, selalu dalam pergerakan. Dialektika, dengan demikian, adalah sebuah interpretasi yang pada hakikatnya dinamik atas segala gejala dan proses yang terjadi dalam segala tingkat materi, baik yang organik maupun yang anorganik.
“Bagi mata kita, mata kasat kita, tidak sesuatupun yang berubah,” ujar fisikawan Amerika Richard P. Feynman, “tapi jika kita dapat melihat dengan perbesaran semilyar kali, kita akan dapat melihat bahwa segalanya selalu berubah: molekul-molekul lepas dari permukaan, molekul-molekul yang kembali terikat di permukaan.”[iv]
Demikian mendasarnya ide ini bagi dialektika sehingga Marx dan Engels berpendapat bahwa gerak adalah ciri paling hakiki dari materi. Sebagaimana demikian sering terjadi, pandangan tentang gerak ini ternyata telah juga diantisipasi oleh Aristoteles, yang menulis: “Dengan demikian … makna yang utama dan terutama dari ‘alam’ adalah hakikat segala sesuatu yang memiliki di dalam dirinya … prinsip pergerakan.”[v] Ini bukanlah pandangan tentang gerak yang mekanik, sebagaimana satu benda akan bergerak jika dikenai gaya eksternal, tapi satu pandangan yang sama sekali berbeda, bahwa materi bergerak di dalam dirinya [self-moving]. Bagi mereka, materi dan gerak (enerji) adalah hal yang satu dan sama, dua cara yang berbeda untuk mengekspresikan ide yang sama. Ide ini dengan gemilang dibenarkan oleh Einstein melalui teorinya tentang kesetaraan massa dan enerji. Beginilah Engels menyatakannya:
“Gerak, dalam makna yang paling luas, dipandang sebagai cara untuk mengada [mode of existence], sifat inheren, dari materi, mencakup segala perubahan dan proses yang terjadi di alam raya, dari sekedar pertukaran tempat sampai proses berpikir. Penyelidikan atas sifat gerak secara alamiah harus mulai dari yang bentuk-bentuk gerak yang paling rendah dan sederhana, dan untuk belajar memahaminya sebelum penyelidikan itu dapat mencapai penjelasan apapun mengenai bentuk-bentuk pergerakan yang lebih tinggi dan kompleks.”[vi]

“Segala Sesuatunya Mengalir”

Segala sesuatu terus-menerus berada dalam pergerakan, dari neutrino sampai galaksi berukuran super-cluster. Bumi ini sendiri terus bergerak, berotasi mengelilingi matahari sekali setahun dan berotasi pada sumbunya sendiri sekali sehari. Matahari, pada gilirannya, berotasi pada sumbunya sendiri sekali dalam 26 hari dan, bersama dengan bintang-bintang lain dalam galaksi kita, berputar mengelilingi pusat galaksi sekali dalam 230 juta tahun. Sangatlah mungkin bahwa struktur yang lebih besar (cluster [himpunan] galaksi) juga memiliki pergerakan rotasionalnya sendiri. Hal ini kelihatannya adalah ciri dari materi, bahkan di tingkat atomik sekalipun, di mana atom-atom yang menyusun molekul berputar dengan tingkat kecepatan yang berbeda-beda. Di dalam atom, elektron berotasi di seputar inti atom dengan kecepatan yang dahsyat.
Elektron memiliki satu kualitas yang dikenal dengan nama intrinsic spin [putaran intrinsik]. Yaitu seakan-akan ia berotasi mengelilingi sumbunya dengan satu tingkat kecepatan yang tetap dan tidak dapat dihentikan atau diubah, kecuali dengan menghancurkan elektron itu sendiri. Jika spin sebuah elektron ditingkatkan, dengan drastis sifat elektron itu akan berubah, yang menghasilkan satu perubahan kualitatif, menghasilkan satu partikel yang sama sekali berbeda. Kuantitas yang dikenal sebagai angular momentum [momentum sudut] – pengukuran gabungan dari massa, ukuran dan kecepatan dari sistem yang berotasi – digunakan untuk mengukur spin dari partikel-partikel elementer. Prinsip kuantifikasi spin dari sebuah partikel adalah hal yang paling penting dalam tingkatan sub-atomik, tapi prinsip ini digunakan juga dalam dunia makroskopik. Walau demikian, efek yang terukur dalam dunia makroskopik ini terlalu kecil sehingga dapat diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Dunia partikel sub-atomik selalu berada dalam keadaan bergerak dan bergejolak, di mana tidak sesuatupun terus menjadi dirinya sendiri. Partikel terus-menerus beralih rupa menjadi anti-partikelnya, sehingga bahkan mustahil bagi kita untuk menyatakan identitas satu partikel tertentu dalam satu masa waktu tertentu. Neutron berubah menjadi proton, dan proton menjadi neutron dalam pertukaran identitas yang tanpa hentinya.
Engels mendefinisikan dialektika sebagai “ilmu tentang hukum-hukum umum tentang gerak dan perkembangan alam, masyarakat manusia dan pemikiran.” Dalam Anti-Dühring dan The Dialectics of Nature, Engels memberikan satu ringkasan tentang hukum-hukum dialektika, yang dimulai dengan tiga yang paling dasar:
1) Hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas dan sebaliknya;
2) Hukum tentang kutub berlawanan yang saling merasuki;
3) Hukum tentang negasi dari negasi.
Sekilas, pernyataan itu terlihat berlebihan dan ambisius. Apakah benar-benar mungkin kita menemukan hukum-hukum yang memiliki penerapan seluas dan seumum itu? Apakah mungkin terdapat satu pola yang mendasari, dan selalu berulang, bukan hanya dalam masyarakat dan pemikiran, tapi juga di dalam alam itu sendiri? Sekalipun terdapat banyak sekali keberatan tentangnya, semakin hari semakin jelas bagi kita bahwa pola semacam itu memang sungguh-sungguh hadir dan selalu memunculkan diri berulang-ulang dalam tiap tingkatan, dengan berbagai macam cara. Dan semakin banyak pula contoh-contoh, yang diambil dari bidang-bidang yang sangat jauh berbeda, dari partikel sub-atomik sampai studi kependudukan, yang semakin memberi bobot pada teori Materialisme yang Dialektik.
Poin yang hakiki dari pemikiran dialektik adalah bahwa pemikiran itu tidak didasarkan pada ide tentang perubahan dan gerak, tapi justru melihat gerak dan perubahan sebagai satu gejala yang didasarkan pada kontradiksi. Di mana logika formal tradional berusaha menyingkirkan kontradiksi, pemikiran dialektika justru memeluknya erat-erat. Kontradiksi, pertentangan, adalah satu ciri yang hakiki dari seluruh keberadaan. Kontradiksi tergolek di jantung materi itu sendiri. Ia adalah sumber dari segala gerak, perubahan, kehidupan dan perkembangan. Hukum-hukum dialektika yang menyatakan ide ini adalah hukum tentang kesatuan dan saling merasuknya kutub-kutub yang bertentangan. Hukum dialektika yang ketiga, negasi dari negasi, menyatakan pandangan tentang perkembangan. Bukannya satu lingkaran tertutup, di mana satu proses secara abadi mengulangi dirinya sendiri, hukum ini menunjukkan bahwa pergerakan melalui kontradiksi yang berturutan akan menuntun kita menuju perkembangan, dari yang sederhana menjadi yang kompleks, dari yang rendah ke yang tinggi. Segala macam proses tidaklah mengulangi dirinya dengan cara yang persis sama, sekalipun nampaknya demikian. Hukum-hukum ini, dalam garis yang sangat skematik, adalah tiga hukum paling dasar dari dialektika. Dari ketiganya, muncullah seluruh rangkaian proposisi tambahan, yang melibatkan hubungan antara yang sebagian dengan yang keseluruhan, hubungan antara bentuk dan isi, hubungan antara yang terbatas dan yang tidak terbatas, hubungan antara tarikan dan tolakan dan seterusnya. Hal-hal ini akan coba kita telaah. Mari kita mulai dengan kuantitas dan kualitas.

Kuantitas dan Kualitas

Hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas memiliki penerapan yang amat luas, dari partikel materi yang terkecil di tingkat sub-atomik sampai gejala paling besar yang pernah dikenal oleh manusia. Hukum ini dapat terlihat dalam segala bentuk perwujudan, dan dalam berbagai tingkatan. Walau demikian, hukum yang sangat penting ini masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang selayaknya diperolehnya. Hukum dialektika ini menyeruak masuk ke bidang perhatian kita pada tiap kesempatan. Peralihan dari kuantitas menjadi kualitas telah diketahui kaum Yunani Megaran, yang menggunakannya untuk menunjukkan berbagai paradox, kadangkala dalam bentuk lelucon. Contohnya, “kepala botak” dan “setumpuk gabah” – apakah hilangnya selembar rambut dapat membuat orang dikatakan “botak”, atau sebutir gabah dapat disebut “setumpuk gabah”? Jawabnya tidak. Jika ditambah satu lembar lagi, atau sebutir lagi? Jawabnya masih tetap tidak. Pertanyaan ini kemudian diulangi sampai jawabannya adalah setumpuk gabah dan sebuah kepala yang botak. Kita dipaksa berhadapan dengan kontradiksi bahwa perubahan-perubahan kecil yang saling terisolasi satu sama lain, yang tidak sanggup membuat satu perubahan kualitatif, pada satu titik justru menghasilkan hal itu: kuantitas berubah menjadi kualitas.
Ide bahwa, di bawah kondisi tertentu, bahkan hal-hal kecil dapat menyebabkan perubahan besar telah dinyatakan dalam berbagai pepatah dan ujar-ujar. Contohnya: “Jerami yang mematahkan punggung unta”, “lebih mudah bekerja dengan dua kepala daripada satu”, “air menetes melubangi batu”, dan seterusnya. Dengan berbagai cara, hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas telah merasuki kesadaran populer, seperti yang ditunjukkan oleh tulisan Trotsky:
“Seseorang pastilah menganut dialektika sampai tahap tertentu, kebanyakan, tidak secara sadar. Seorang ibu rumah tangga tahu bahwa sejumlah tertentu garam membuat rasa sup menjadi sedap, tapi jika ditambah lagi, justru akan membuat rasa sup itu tidak karuan. Dengan demikian, seorang perempuan petani yang buta huruf mengajar dirinya untuk memasak sup melalui hukum Hegelian, peralihan dari kuantitas menjadi kualitas. Contoh-contoh serupa dari hidup sehari-hari dapat dikutip tanpa akhir. Bahkan hewan pun tiba pada kesimpulan-kesimpulan praktis mereka bukan hanya berdasarkan silogisme Aristotelian tapi juga berdasarkan dialektika Hegelian. Demikianlah seekor rubah sadar bahwa hewan berkaki empat dan burung rasanya sedap dan bergizi. Ketika ia menampak seekor kelinci atau ayam, sang rubah akan menyimpulkan, hewan ini termasuk dalam jenis yang lezat dan bergizi dan – memburunya. Kita lihat di sini sebuah silogisme yang lengkap sekalipun rubah itu, bolehlah kita simpulkan, tidak akan pernah membaca karya Aristoteles. Walau demikian, ketika rubah yang sama menampak hewan yang mirip tapi dengan ukuran yang jauh lebih besar, misalnya, seekor serigala, ia akan menyimpulkan dengan cepat bahwa kuantitas telah berubah menjadi kualitas, dan berbalik kabur. Jelaslah bahwa kaki-kaki sang rubah diperlengkapi dengan kecenderungan Hegelian, sekalipun tidak dalam makna yang sadar.
“Semua ini menunjukkan, secara sepintas, bahwa metode berpikir kita, baik yang logika formal maupun yang dialektik, bukanlah satu konstruksi yang acak atas nalar kita tapi merupakan pernyataan atas kesalingterhubungan antar unsur-unsur alam itu sendiri. dalam pengertian ini, seluruh alam raya dirasuki oleh dialektika “tanpa sadar”. Tapi alam tidaklah berhenti sampai di situ. Tidak sedikit perkembangan yang dibutuhkan sebelum kesalingterhubungan internal dari alam diubah menjadi bahasa kesadaran baik rubah maupun manusia, dan manusia kemudian dapat menarik kesimpulan umum dari bentuk-bentuk kesadaran ini dan mengubahnya menjadi kategori-kategori (dialektik) logis, dan selanjutnya menciptakan kesempatan untuk menjelajah lebih jauh ke dalam dunia di sekelilingnya.”[vii]
Sekalipun contoh yang diberikan agak bersifat remeh, tetaplah terlihat kebenaran yang mendasar tentang cara bekerjanya dunia ini. Ambillah contoh tumpukan gabah itu. Beberapa penelitian terakhir yang berkaitan dengan teori chaos telah mengerucut pada titik di mana serangkaian variasi kecil selalu menghasilkan satu perubahan keadaan yang masif. (Dalam istilah modern, hal ini disebut “the edge of chaos“.) Karya fisikawan kelahiran Jerman, Per Bak, bersama rekan-rekannya tentang “self-organised criticallity” persis menggunakan tumpukan pasir untuk menggambarkan proses mendasar yang terjadi dalam berbagai tingkatan alami dan yang bertepatan persis dengan hukum peralihan kuantitas menjadi kualitas.
Satu contoh dari sini adalah tumpukan pasir – satu analogi yang persis sama dengan tumpukan gandum dari kaum Megaran. Kita menjatuhkan butiran pasir satu demi satu di atas sebuah permukaan datar. Percobaan ini telah dilakukan berulang-ulang, baik dengan benda nyata maupun melalui simulasi komputer. Untuk beberapa waktu, butir-butir pasir itu akan jatuh begitu saja satu di atas yang lain sampai mereka membentuk sebuah piramida kecil. Seketika titik ini tercapai, penambahan butiran pasir akan menempel pada piramid itu, atau justru akan menghancurkan keseimbangannya pada satu sisi, cukup besar untuk membuat tumpukan pasir itu runtuh. Tergantung bagaimana butiran pasir itu jatuh, keruntuhan tumpukan pasir itu dapat berskala kecil atau justru menghancurkan sama sekali keseluruhan tumpukan. Ketika tumpukan itu mencapai titik kritis, penambahan satu butir pun dapat menimbulkan dampak yang mempengaruhi seluruh butiran pasir yang lain. Contoh yang tampaknya remeh ini menyediakan satu “model edge of chaos” yang amat menawan, dengan penerapan yang sangat luas, dari gempa bumi sampai evolusi; dari krisis bursa saham sampai perang.
Tumpukan pasir bertambah besar, dengan butiran pasir yang berlebih mengalir jatuh sepanjang sisinya, ketika semua kelebihan butiran pasir telah jatuh, tumpukan pasir yang terjadi disebut berada dalam keadaan “self-organised“. Dengan kata lain, tidak seorangpun dengan sadar menyusunnya sampai bentuk seperti itu. Mereka “mengorganisir diri sendiri” sesuai dengan hukum-hukum internalnya sendiri, sampai mereka mencapai satu keadaan kritis, di mana butiran-butiran pasir yang ada di permukaan berada dalam keadaan nyaris tidak stabil. Dalam kondisi kritis ini, penambahan butiran pasir yang sesedikit apapun akan menghasilkan kejadian yang tak dapat diduga sebelumnya. Mungkin perubahan yang terjadi akan sangat kecil, atau justru akan memicu satu reaksi berantai yang menghasilkan satu kelongsoran yang menghancurkan keseluruhan tumpukan.
Menurut Per Bak, gejala ini dapat dinyatakan dalam persamaan matematika, di mana kekerapan rata-rata dari kelongsoran dengan ukuran tertentu akan berbanding terbalik dengan pangkat sekian dari ukurannya. Ia juga menunjukkan bahwa perilaku “hukum kepangkatan” itu sangatlah umum di alam, seperti massa-kritis dari plutonium, di mana reaksi berantai selalu berada di ambang ledakan nuklir. Pada tingkatan di bawah massa kritis, reaksi berantai di dalam massa plutonium tidak akan menimbulkan apa-apa; pada tingkatan di atas massa kritis, reaksi berantai akan menimbulkan ledakan nuklir. Satu gejala yang mirip dapat dilihat dalam gempa bumi, di mana batu-batu di sisi sebuah retakan kerak bumi selalu berada dalam keadaan di mana mereka siap berbenturan satu sama lainnya. Retakan kerak bumi mengalami serangkaian selip besar atau kecil, yang menjaga ketegangan pada titik kritis selama beberapa waktu sampai ia akhirnya runtuh menjadi sebuah gempa bumi.
Sekalipun para pendukung teori chaos kelihatannya tidak sadar tentang hal ini, contoh-contoh yang diberikan di atas adalah kasus-kasus yang melibatkan peralihan dari kuantitas menjadi kualitas. Hegel menemukan satu garis node hubungan-hubungan terukur, di mana perubahan-perubahan kuantitatif kecil pada titik tertentu akan menimbulkan satu lompatan kualitatif. Contoh yang sering diberikan adalah air, yang mendidih pada suhu 100oC di bawah tekanan atmosfir normal. Ketika suhunya semakin mendekati titik didih, peningkatan panas tidak otomatis membuat molekul air terbang berhamburan. Sampai ia mencapai titik didih, air mempertahankan volumenya. Ia tetap tinggal sebagai air, karena molekul-melekul air masih saling tarik-menarik. Walau demikian, perubahan yang terus berlangsung secara bertahap dalam suhu air menghasilkan efek peningkatan kecepatan gerak molekul. Volume antar atom meningkat sedikit demi sedikit, sampai titik di mana kekuatan saling tarik antar molekul tidak lagi cukup kuat untuk mengikat molekul-molekul itu dalam satu kesatuan. Tepat pada suhu 100oC, peningkatan enerji panas sekecil apapun akan menyebabkan molekul-molekul air terbang berhamburan dalam bentuk uap.
Proses itu dapat dilihat dalam kebalikannya. Ketika air didinginkan dari suhu 100oC menjadi 0oC, ia tidak mengental sedikit demi sedikit, dari bentuk pasta, menjadi jelly lalu menjadi benda padat. Gerakan atom melambat perlahan-lahan seiring dengan semakin turunnya tingkat enerji panas sampai, pada suhu 0oC, satu titik kritis tercapai, di mana molekul-molekul akan saling terkunci ke dalam satu pola tertentu, yang kita kenal sebagai es. Secara teknis, perbedaannya adalah bahwa, di dalam benda padat, atom-atom tersusun dalam sebuah matriks kristalin. Mereka tidak memiliki posisi acak yang saling berjauhan, sehingga posisi atom-atom pada satu sisi kristal akan ditentukan oleh atom di sisi yang lain. Itulah mengapa kita dapat menggerakkan tangan kita dengan bebas di dalam air, sedangkan es sangat kaku dan sulit ditembus. Di sini kita melihat satu perubahan kualitatif, satu perubahan keadaan, yang muncul dari akumulasi terhadap perubahan kualitas. Sebutir molekul air adalah hal yang relatif sangat bersahaja, satu atom oksigen yang terikat pada dua atom hidrogen melalui persamaan fisika atomik yang jamak. Walau demikian, ketika sejumlah besar molekul-molekul ini digabungkan, mereka memperoleh satu sifat yang tidak mereka miliki ketika berdiri sendiri – likuiditas, bentuk cair. Sifat seperti ini tidak dapat dirumuskan dalam persamaan matematik. Dalam bahasa yang kompleks, likuiditas adalah sebuah gejala yang “muncul secara tiba-tiba”.
“Dinginkan molekul-molekul air yang cair itu sedikit, contohnya, dan pada suhu 32oF mereka akan tiba tiba berhenti saling bertumbukan secara acak. Mereka justu akan menjalani sebuah ‘fase transisi’, mengunci diri mereka ke dalam matriks kristalin yang teratur, yang dikenal sebagai es. Atau jika Anda menempuh jalur yang sebaliknya, molekul-molekul air itu akan tiba-tiba terbang berhamburan dan menjalani fase transisi menjadi uap air. Kedua fase transisi itu tidak memiliki makna apapun bagi satu molekul air yang berdiri sendiri.”[viii]
Frasa “fase transisi” tidak lebih ataupun kurang dari lompatan kualitatif. Proses yang mirip dapat dilihat dalam gejala yang demikian beragam seperti cuaca, molekul DNA, dan pikiran itu sendiri. Kualitas dari likuiditas ini sangat jamak dan dapat diperkirakan dengan ketepatan tinggi – sampai tingkat tertentu. Hukum pergerakan fluida (gas dan cairan) jelas membedakan antara aliran laminar yang mulus, yang tertentu dan dapat diramalkan, dan aliran turbulen, yang, paling-paling, hanya dapat dinyatakan melalui pendekatan. Pergerakan air melalui sebuah dermaga di pinggir sungai dapat diperkirakan secara akurat dari persamaan likuida normal, asalkan sungai itu mengalir dengan kecepatan rendah. Bahkan jika kita meningkatkan kecepatan aliran sungai, sampai tercipta pusaran dan gejolak ombak, kita masih akan tetap dapat meramalkan perilakunya. Tapi jika kecepatan air ditingkatkan di atas satu ambang tertentu, menjadi mustahil bagi kita untuk meramalkan di mana pusaran akan timbul, atau bahkan, untuk meramalkan perilaku aliran itu sendiri. Aliran itu telah menjadi chaos.

Tabel Periodik Mendeleyev

Adanya perubahan kualitatif dalam materi telah dikenal jauh sebelum umat manusia mulai berpikir tentang ilmu pengetahuan, tapi tidak benar-benar dipahami sebelum munculnya teori atom. Dahulu, fisika menganggap perubahan keadaan dari padat ke cair ke gas sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja, tanpa tahu persisnya mengapa. Baru sekarang gejala-gejala ini dapat dipahami dengan tepat.
Ilmu kimia membuat lompatan besar di abad ke-19. Sejumlah besar unsur ditemukan. Tapi, mirip seperti suasana yang kini dialami oleh fisika partikel, pemahaman akan tata urutan unsur-unsur itu masih sangat kacau dan tidak beraturan. Keteraturan ditegakkan oleh ilmuwan besar Rusia Dimitri Ivanovich Mendeleyev yang, di tahun 1869, dalam kerjasama dengan ahli kimia Jerman Julius Meyer, menciptakan tabel periodik unsur, yang dinamai demikian karena tabel itu menunjukkan pengulangan terjadinya sifat-sifat kimia dari berbagai unsur.
Berat atom ditemukan tahun 1862 oleh Cannizarro. Tapi kejeniusan Mendeleyev terletak pada fakta bahwa ia tidak melakukan pendekatan yang murni kuantitatif terhadap berbagai unsur kimia itu, yaitu, ia tidak melihat perbedaan antar atom semata dari sudut beratnya. Kalau ia melakukan itu, ia tidak akan pernah dapat membuat terobosan seperti yang dibuatnya kemudian. Dari sudut pandang yang murni kuantitatif, contohnya, unsur Telurium (berat atom = 127,61) harusnya ditempatkan setelah Yodium (berat atom = 126,91) dalam tabel periodik. Tapi, Mendeleyev menempatkannya sebelum Yodium, di bawah Selenium, yang lebih mirip sifatnya, dan menempatkan Yodium di bawah unsur yang sesuai dengannya, Brom. Metode Mendeleyev dibenarkan di abad ke-20, ketika penyelidikan dengan sinar-X membuktikan bahwa pengaturan yang dibuatnya tepat. Telurium kemudian ditetapkan bernomor atom 52 dan Yodium 53.
Seluruh tabel periodik Mendeleyev didasarkan pada hukum kuantitas dan kualitas, dengan menyimpulkan perbedaan kualitatif dari perbedaan kuantitatif dalam berat atom. Hal ini diakui Engels pada waktu itu:
“Akhirnya, hukum Hegelian bukan hanya sahih untuk zat-zat senyawa tapi juga untuk unsur-unsur kimia itu sendiri. Kita kini tahu bahwa ‘ unsur-unsur kimia adalah fungsi periodik dari berat atomnya’, … dan bahwa, dengan demikian, kualitasnya ditentukan oleh kuantitas berat atomnya. Dan tulisan-tulisan tentang hal ini telah dibuat dengan gemilang. Mendeleyev telah membuktikan bahwa berbagai senjang yang terjadi dalam serangkaian unsur yang saling berkaitan, yang disusun menurut berat atom, menunjukkan bahwa di sana-sini terdapat unsur-unsur yang masih harus ditemukan. Ia menjelaskan di muka sifat-sifat kimiawi umum dari unsur-unsur yang belum ditemukan ini, yang disebutnya eka-aluminium, karena unsur itu mengikuti aluminium dalam barisan yang dimulai oleh unsur aluminium itu. Iapun dapat meramalkan, melalui pendekatan, berat spesifik dan atomik dan juga volume atomiknya. Beberapa tahun kemudian, Lecoq de Boisbaudran sungguh-sungguh menemukan unsur-unsur ini, dan ramalan Mendeleyev tepat nyaris sepenuhnya, dengan penyimpangan yang hanya sedikit sekali. Eka-aluminium kemudian diberi nama Galium…. Melalui penerapan – tidak secara sadar – atas hukum-hukum peralihan kuantitas ke kualitas dari Hegel, Mendeleyev membuat pencapaian yang tidak kalah bobotnya dengan pencapaian Leverrier ketika ia menghitung orbit dari planet Neptunus yang waktu itu belum ditemukan.”[ix]
Ilmu kimia melibatkan baik ciri kuantitatif maupun kualitatif, baik perubahan dalam derajatnya maupun dalam keadaannya. Hal ini dapat dilihat dalam perubahan keadaan dari gas ke cair ke padat, yang biasanya berkaitan dengan variasi suhu dan tekanan. Dalam Anti-Dühring, Engels memberi serangkaian contoh bagaimana, dalam ilmu kimia, penambahan kuantitatif yang sederhana atas berbagai unsur ternyata menciptakan zat yang sama sekali berbeda. Sejak masa Engels, sistem penamaan yang digunakan dalam ilmu kimia telah mengalami perubahan. Walau demikian, perubahan kuantitas ke kualitas tetaplah ternyatakan dengan akurat dalam contoh berikut ini:
“CH2O2 ­ – asam format titik didih 100oC titik lebur 1oC
C2H4O2 ­ – asam asetat titik didih 118oC titik lebur 17oC
C3H6O2 ­- asam propionat titik didih 140oC -
C4H8O2 ­ – asam butirat titik didih 162oC -
C5H10O2 ­- asam valerianat titik didih 175oC -
Dan seterusnya C30H60O2 , asam melissiat, yang lebur dalam suhu hanya 80oC dan tidak memiliki titik didih sama sekali, karena ia tidak dapat menguap tanpa mengalami penguraian.”[x]
Studi tentang gas dan uap merupakan satu cabang khusus dari ilmu kimia. Pelopor kimia dari Inggris, Faraday, berpendapat bahwa mustahil untuk mencairkan enam macam gas, yang ia sebut gas permanen – hidrogen, oksigen, nitrogen, karbon monoksida, nitrit oksida dan metana. Tapi, di tahun 1877, ahli kimia Swiss, R. Pictet, berhasil mencairkan oksigen pada suhu -140oC di bawah tekanan 500 atmosfer. Kemudian, nitrogen, oksigen dan karbon monoksida semua dapat dicairkan dan, dalam temperatur yang lebih rendah lagi, dapat pula dipadatkan. Di tahun 1900, hidrogen dapat dicairkan pada -240oC. akhirnya, pencairan helium, yang merupakan tantangan terbesar, dapat dilakukan pada suhu -255oC. Penemuan-penemuan ini memiliki penerapan praktis yang penting. Hidrogen dan oksigen cair kini digunakan dalam jumlah besar dalam roket-roket. Pengubahan kuantitas ke kualitas ditunjukkan oleh fakta bahwa perubahan suhu menghasilkan perubahan sifat. Hal ini adalah kunci bagi gejala superkonduktivitas. Melalui super-cooling [pendinginan ekstrim], ditemukan bahwa beberapa zat tertentu, mulai dari merkuri, tidak memiliki hambatan terhadap arus listrik.
Studi tentang suhu yang ekstra rendah ini dikembangkan di pertengahan abad ke-19 oleh William (kemudian dinobatkan sebagai Lord) Kelvin dari Inggris, yang menetapkan konsep nol absolut (suhu terendah yang mungkin tercapai), yang menurut perhitungannya adalah -273oC. Pada suhu ini, menurutnya, enerji molekul turun ke tingkat nol. Suhu ini kadangkala dirujuk sebagai nol derajat Kelvin, dan digunakan sebagai basis skala untuk mengukur suhu-suhu yang amat rendah. Walau demikian, bahkan pada titik nol mutlak, gerak tidak hilang sama sekali. Masih terdapat sisa enerji yang tidak akan pernah dapat disingkirkan. Untuk keperluan praktis, dikatakan bahwa enerji sama dengan nol, tapi bukan seperti itu keadaan sebenarnya. Materi dan gerak, seperti yang ditunjukkan Engels, tidak akan pernah terpisah – bahkan pada titik “nol mutlak”.
Saat ini, suhu-suhu yang amat rendah diciptakan secara rutin, dan memainkan peran penting dalam pembuatan superkonduktor. Merkuri menjadi superkonduktif tepat pada suhu 4,12oK; timbal pada suhu 7,22oK; timah pada 3,73oK; aluminium pada 1,20oK; uranium pada 0,8oK; titanium pada 0,53o. Sekitar 1400 unsur dan senyawa menunjukkan kualitas ini. Hidrogen cair mendidih pada suhu 20,4oK. Helium adalah satu-satunya zat yang tidak dapat dibekukan, bahkan pada titik nol mutlak. Zat itu adalah satu-satunya zat yang mengandung gejala yang dikenal sebagai superfluiditas. Di sini, juga, perubahan suhu menghasilkan lompatan kualitatif, yang dikenal sebagai helium-2, untuk membedakannya dari helium cair yang berada pada suhu di atas nol mutlak (helium-1). Dengan menggunakan teknik-teknik baru, suhu serendah 0,000001oK telah dapat dicapai, sekalipun kelihatannya suhu nol mutlak tidak akan pernah dapat dicapai.
Sejauh ini, kita telah berkonsentrasi pada perubahan-perubahan kimia yang terjadi di laboratorium dan di dalam industri. Tapi tidak boleh pula dilupakan bahwa perubahan-perubahan ini terjadi dalam skala yang jauh lebih besar di alam ini. Komposisi kimia dari batubara dan intan, dengan mengabaikan pengotoran oleh unsur-unsur lain, adalah sama – karbon. Perbedaan yang terjadi adalah hasil dari tekanan raksasa yang, pada satu titik, mengubah segumpal batubara menjadi bahan kalung para putri bangsawan. Untuk mengubah grafit yang jamak terdapat menjadi intan yang jarang dan mahal itu dibutuhkan tekanan sekurangnya 10.000 atmosfer dalam waktu yang luar biasa lama. Proses ini terjadi secara alami di bawah permukaan bumi. Di tahun 1955, perusahaan monopoli besar GEC berhasil mengubah grafit menjadi intan dengan suhu 2.500oC, dan tekanan sebesar 100.000 atmosfer. Hasil yang sama dicapai tahun 1962, dengan suhu 5.000oC dan tekanan 200.000 atmosfer, yang langsung mengubah grafit menjadi intan, tanpa memerlukan bantuan katalis. Ini adalah intan sintetis, yang tidak digunakan untuk menghiasi leher para putri bangsawan, tapi untuk keperluan yang jauh lebih produktif – sebagai alat pemotong untuk keperluan industri.

Fase Transisi

Salah satu bidang penelitian yang paling penting berurusan dengan apa yang dikenal sebagai fase transisi – titik kritis di mana materi berubah dari padat ke cair atau dari cair ke uap; atau berubah dari non-magnetis ke magnetis; atau dari konduktor ke superkonduktor. Semua proses ini berbeda, tapi kini telah ditetapkan tanpa keraguan lagi bahwa mereka semua mirip, demikian miripnya sehingga matematika yang diterapkan untuk salah satu percobaan itu dapat pula diterapkan pada percobaan yang lain. Ini adalah contoh yang sangat jelas dari lompatan kualitatif, seperti yang ditunjukkan oleh kutipan dari James Gleick berikut ini:
“Sama seperti halnya chaos itu sendiri, fase transisi melibatkan sejenis perilaku makroskopik yang nampaknya sulit diramalkan hanya dengan melihat rincian mikroskopiknya. Ketika satu benda padat dipanaskan, molekul-molekulnya bergetar dengan enerji yang bertambah. Mereka mendesak ke luar melawan ikatan di antara mereka dan memaksa zat itu untuk memuai. Semakin tinggi panas, semakin besar pemuaian. Walau demikian, pada suhu dan tekanan tertentu, perubahan menjadi mendadak dan terpatah-patah. Seuntai tali yang sedang meregang menjadi putus. Bentuk-bentuk kristalin melebur, dan molekul-molekul melepaskan diri satu sama lain. Mereka mematuhi hukum fluida yang sama sekali tidak ada kesamaannya dengan hukum-hukum benda padat. Enerji atomik rata-rata hampir tidak berubah, tapi zat itu – yang kini menjadi cair, atau menjadi magnetis, atau menjadi superkonduktor – telah memasuki dunia yang sama sekali baru.”[xi]
Dinamika Newton sangat cukup untuk menjelaskan gejala yang terjadi pada skala besar, tapi gagal ketika kita memasuki dimensi atomik. Sesungguhnya, mekanika klasik masih tetap sahih untuk kebanyakan operasi yang tidak melibatkan kecepatan yang luar biasa tinggi atau proses yang terjadi di tingkatan sub-atomik. Mekanika kuantum akan kita bahas pada bagian yang lain. Tapi, mekanika baru ini menunjukkan satu lompatan kualitatif dalam ilmu pengetahuan. Hubungannya dengan mekanika klasik sangat mirip dengan hubungan antara matematik tinggi dan rendah dan antara dialektika dan logika formal. Mekanika baru ini dapat menjelaskan fakta yang tidak dapat dijelaskan oleh mekanika klasik, seperti transformasi radioaktif, pengubahan materi menjadi enerji. Ia membangkitkan satu cabang baru ilmu pengetahuan – kimia teoritik, yang sanggup menyelesaikan problem-problem yang semula tak terbayang penyelesaiannya. Teori magnetisme logam mengalami perubahan mendasar, memungkinkan berbagai penemuan tentang aliran listrik melalui logam. Serangkaian besar kesulitan teoritis telah disingkirkan, seketika setelah sudut pandang yang baru ini diterima. Tapi, untuk waktu yang lama, mekanika baru ini membentur penolakan yang keras kepada karena apa yang dihasilkannya berlawanan sama sekali dengan apa yang dihasilkan oleh cara berpikir tradisional dan hukum-hukum logika formal.
Fisika modern menyediakan segudang contoh tentang hukum-hukum dialektika, mulai dari persoalan kuantitas dan kualitas. Ambillah, misalnya, hubungan antara berbagai jenis gelombang elektromagnetik dan frekuensi mereka, yaitu, kecepatan bergetarnya. Karya Marxwell, yang sangat menarik perhatian Engels, menunjukkan bahwa gelombang elektromagnetik dan cahaya adalah dua hal yang sama. Mekanika kuantum kemudian menunjukkan bahwa situasinya jauh lebih kompleks dan kontradiktif, tapi, untuk frekuensi yang rendah, teori gelombang itu masih dapat diterapkan.
Sifat-sifat berbagai jenis gelombang ditentukan oleh jumlah getaran per detiknya. Perbedaannya terletak pada frekuensi gelombang, kecepatan getarannya, jumlah getaran per detiknya. Artinya, perubahan kuantitatif membangkitkan berbagai jenis sinyal gelombang yang berbeda. Jika kita terjemahkan ini dalam bahasa warna, merah menunjukkan gelombang cahaya dengan frekuensi rendah. Satu peningkatan dalam kecepatan getaran mengubah warna itu menjadi oranye-kuning, lalu menjadi ungu, lalu menjadi ultra-violet yang tak kasat mata dan sinar-X dan terakhir menjadi sinar-gamma. Jika kita membalikkan proses itu, di kutub yang paling rendah kita mendapati infra-merah dan sinar cahaya lalu gelombang radio. Dengan demikian, gejala yang sama mengambil wujud yang berbeda-beda, tergantung dari tinggi-rendahnya frekuensi. Kuantitas berubah menjadi kualitas.
Spektrum Elektromagnetik
Frekuensi (dalam getaran per detik)
Nama

Perilaku rata-rata

102
Gangguan listrik
Medan



5 x 10– 106
Gelombang radio
Gelombang
108
FM – TV
1010
Radar
5 x 1014 – 1015
Cahaya



1018
Sinar-X
Partikel
1021
Sinar-gamma, nuklir
1024
Sinar-gamma, “artifisial”
1027
Sinar-gamma, dalam sinar kosmis
Sumber: R. P. Feynman. Lectures on Physics, bab 2, p. 7, Tabel 2-1

Organik dan Anorganik

Hukum kuantitas dan kualitas juga berguna untuk memberi penerangan akan salah satu aspek yang paling kontroversial dalam fisika modern, apa yang dikenal sebagai “prinsip ketidakpastian”, yang akan kita telaah dengan lebih rinci di bagian berikutnya. Walaupun mustahil bagi kita untuk mengetahui persis posisi dan kecepatan sebuah partikel sub-atomik, tetaplah mungkin bagi kita untuk meramalkan dengan ketepatan tinggi perilaku dari sejumlah besar partikel-partikel itu. Satu contoh: atom radioaktif meluruh pada satu tingkat yang dapat ditetapkan secara statistik sehingga ia digunakan oleh para ilmuwan sebagai “jam” alami untuk menghitung usia bumi, matahari dan bintang-bintang. Fakta bahwa hukum-hukum yang mengatur perilaku partikel sub-atomik berbeda dengan hukum-hukum yang mengatur fungsinya pada tingkatan “normal” persis menunjukkan satu contoh peralihan dari kuantitas menjadi kualitas. Titik persis di mana hukum gejala skala-kecil berhenti berfungsi ditetapkan oleh kuantum aksi yang diterangkan oleh Max Planc di tahun 1900.
Pada titik tertentu, rantai peristiwa-ambang menyebabkan satu lompatan kualitatif di mana materi yang anorganik membangkitkan satu materi yang organik. Perbedaan antara materi organik dan anorganik sangatlah relatif. Ilmu pengetahuan modern sudah maju jauh sekali untuk menemukan persisnya bagaimana yang organik itu dapat lahir dari yang anorganik. Hidup itu sendiri terdiri dari atom-atom yang terorganisir dalam cara yang khusus. Kita semua adalah kumpulan atom, tapi bukan “sekedar” kumpulan atom. Dalam satu penataan yang luar biasa kompleks atas gen-gen kita, kita memiliki kemungkinan yang tak terbatas. Tugas untuk memungkinkan setiap individu untuk mengembangkan tiap kemungkinan ini ke tingkat yang tertinggi adalah tugas yang terbeban di pundak sosialisme.
Para ahli biologi molekuler kini tahu urutan lengkap dari DNA sebuah organisme, tapi tidak dapat menduga dari susunan itu bagaimana organisme menyusun dirinya sepanjang evolusinya. Seperti pengetahuan tentang struktur H2O tidaklah memberikan satu pengetahuan tentang timbulnya likuiditas. Satu analisis tentang susunan kimiawi dan sel dari tubuh tidaklah otomatis menyusun satu rumus tentang hidup. Hal yang sama berlaku pula untuk nalar itu sendiri. Para ahli syaraf telah memiliki setumpuk data tentang apa yang dilakukan oleh otak. Otak manusia terdiri dari sepuluh milyar neuron, yang setiap di antaranya memiliki rata-rata seribu hubungan dengan neuron tetangganya. Komputer tercepat dapat melakukan sekitar satu milyar operasi dalam satu detik. Otak seekor lalat yang menclok di tembok melakukan sekitar 100 milyar operasi dalam kurun waktu yang sama. Perbandingan ini memberi gambaran perbedaan yang sangat besar antara otak manusia dengan komputer yang paling maju sekalipun.
Kompleksitas yang luar biasa dari otak manusia adalah salah satu alasan mengapa kaum idealis telah mencoba mengepung fenomena nalar dengan aura mistis. Pengetahuan tentang rincian setiap neuron, akson dan sinapsis tidaklah cukup untuk menjelaskan fenomena nalar dan emosi. Walau demikian, tidak ada sesuatupun yang mistis tentang hal ini. Dalam bahasa kompleksitas teori, baik nalar maupun hidup adalah “fenomena yang mendadak muncul”. Dalam bahasa dialektik, lompatan dari kuantitas menjadi kualitas berarti bahwa yang keseluruhan memiliki kualitas yang tidak dapat diperkirakan dari yang sebagian, atau yang keseluruhan tidak dapat direduksi atas bagian-bagiannya semata. Satu neuron yang sendirian tidak memiliki kesadaran. Tapi, sum total, keseluruhan neuron dan hubungan-hubungan antar mereka memiliki hal itu. Jaringan syaraf adalah satu sistem yang dinamis dan non-linear. Aktivitas kompleks dan interaksi antar neuron-lah yang menghasilkan fenomena yang kita sebut kesadaran.
Hal yang serupa dapat dilihat dalam sejumlah besar sistem multi-komponen dalam bidang yang beraneka ragam. Studi tentang koloni semut di Universitas Bath telah menunjukkan bagaiman perilaku yang tidak terlihat pada semut yang sendirian muncul dalam sebuah koloni. Seekor semut, yang dibiarkan sendirian, akan mengembara secara acak, mencari makan dan beristirahat dengan jangka yang tidak teratur. Walau demikian, ketika pengamatan dipindahkan pada keseluruhan koloni semut, jelaslah bahwa mereka menjadi aktif dalam jangka yang sangat teratur. Diperkirakan bahwa hal ini memaksimalkan keefektifan kerja mereka: jika mereka semua bekerja bersama-sama, kecil kemungkinannya seekor semut mengulangi tugas yang telah dikerjakan oleh semut yang lain. Tingkat koordinasi di tingkatan koloni semut demikian tinggi sehingga beberapa orang berpendapat bahwa koloni semut adalah seekor hewan, bukan sebuah koloni. Pendapat ini juga merupakan penyajian mistis dari sebuah gejala yang hadir dalam berbagai tingkatan di alam dan pada hewan dan masyarakat manusia, dan yang hanya dapat dipahami dalam istilah hubungan dialektik antara yang sebagian dan yang keseluruhan.
Kita dapat melihat hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas bekerja ketika kita berpikir tentang evolusi dari sebuah spesies. Dalam istilah biologis satu “ras” atau “keturunan” hewan tertentu didefinisikan melalui kemampuan mereka untuk melakukan pembuahan di antara mereka sendiri. Tapi sejalan dengan semakin jauhnya modifikasi evolusi, kemampuan inipun menghilang. Pada titik ini sebuah spesies baru telah terbentuk. Paleontologis Stephen Jay Gould dan Niles Eldredge telah menunjukkan bahwa proses ini kadangkala lambat dan bertele-tele dan kadangkala berlangsung dengan kecepatan tinggi. Yang manapun yang terjadi, mereka menunjukkan bahwa akumulasi bertahap dari perubahan-perubahan kecil memprovokasi perubahan kualitatif pada titik tertentu. “Keseimbangan yang terputus-putus” adalah istilah yang digunakan oleh para ahli biologi untuk menggambarkan periode panjang stabilitas, yang disela oleh perubahan yang berlangsung mendadak. Ketika ide ini diajukan oleh Gould dan Eldredge dari American Museum to Natural History di tahun 1972, ide itu memprovokasi satu perdebatan yang keras di antara para ahli biologi, yang sampai saat itu masih menganggap bahwa Darwinisme adalah sinonim dari gradualisme.
Untuk waktu yang lama, orang berpikir bahwa evolusi tidak melibatkan perubahan drastis semacam itu. Evolusi digambarkan sebagai perubahan yang perlahan dan gradual. Walau demikian, bukti-bukti dari fosil, sekalipun belum lengkap, memberi gambaran yang sangat berbeda, dengan periode panjang evolusi gradual yang dihentikan oleh pergolakan yang ganas, diiringi dengan kepunahan massa dari beberapa spesies dan kemunculan spesies yang lain. Walau mungkin dinosaurus benar punah sebagai konsekuensi dari benturan meteorit dengan bumi, sangatlah mungkin bahwa kebanyakan kepunahan besar lain disebabkan oleh proses pergolakan semacam ini. Sekalipun gejala eksternal, termasuk benturan dengan meteorit atau komet, dapat memainkan peran sebagai “kecelakaan” dalam proses evolusi, kita tetap harus mencari satu penjelasan tentang evolusi sebagai hasil dari hukum-hukum internalnya. Teori “keseimbangan terputus”, yang kini didukung oleh kebanyakan paleontologis, merupakan satu pemutusan hubungan yang menentukan dengan interpretasi lama Darwinisme yang gradualis, dan menyajikan gambaran evolusi yang benar-benar dialektik, di mana periode panjang kebuntuan diselingi oleh lompatan-lompatan mendadak dan perubahan katastropik (penuh gejolak) dalam segala bentuknya.
Contoh yang dapat diberikan tak terhingga jumlahnya, mencakup bidang yang luar biasa luas. Mungkinkah kita terus meragukan kebenaran hukum yang sangat penting ini? Apakah dibenarkan jika kita terus mengabaikannya dan menepisnya sebagai sekedar satu penemuan subjektif yang diterapkan secara acak pada gejala-gejala yang tak berhubungan satu dengan lainnya? Kita melihat bahwa di dalam fisika, studi tentang fase transisi telah membawa kita pada kesimpulan bahwa perubahan-perubahan yang nampaknya tidak saling berhubungan – mendidihnya cairan dan berubahnya logam menjadi magnet – semua mematuhi hukum-hukum yang sama. Hanya persoalan waktu sebelum hubungan-hubungan serupa ditetapkan, yang akan menyingkirkan semua keraguan bahwa hukum peralihan kuantitas menjadi kualitas adalah sungguh salah satu hukum alam yang paling mendasar.

Yang Keseluruhan dan Yang Sebagian

Menurut logika formal, yang keseluruhan pastilah sama dengan hasil penjumlahan bagian-bagiannya. Tapi jika kita meneliti lebih dekat, hal ini tidaklah selalu benar. Dalam kasus organisme hidup, jelas bukan begitu halnya. Seekor kelinci yang dibedah di laboratorium bukan lagi seekor kelinci. Fakta ini telah dipahami oleh para penganjur teori chaos dan kompleksitas. Walaupun fisika klasik, dengan sistemnya yang linear, menerima bahwa yang keseluruhan adalah persis sama dengan jumlah bagian-bagiannya, logika kompleksitas yang non-linear memegang teguh pandangan yang berlawanan, yang bersesuaian sepenuhnya dengan dialektika:
“Yang keseluruhan hampir selalu berjumlah jauh lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya,” ujar Waldrop. “dan pernyataan matematis dari sifat ini – jika sistem itu dapat dinyatakan secara matematis – adalah persamaan yang non-linear: persamaan yang grafiknya melengkung.”[xii]
Kita telah mengutip contoh-contoh perubahan kualitatif dalam ilmu kimia yang digunakan oleh Engels dalam Anti-Dühring. Walau contoh-contoh ini tetaplah sahih, kita tidak boleh menganggap contoh-contoh itu hanya sampai di situ saja. Engels, tentu saja, terbatasi oleh pengetahuan ilmiah di jamannya. Kini kita boleh melangkah lebih jauh lagi. Teori kimia atomik klasik dijabarkan dari ide bahwa penggabungan atom-atom menjadi kesatuan yang lebih besar hanya akan menghasilkan agregat dari atom-atom itu, yakni, dalam hubungan yang murni kuantitatif. Penggabungan dari atom-atom menjadi molekul dilihat sebagai penggandengan yang sederhana. Rumus kimia seperti H2O, H2SO4, dan lain-lain mengandaikan bahwa tiap atom pada dasarnya tidak berubah ketika mereka memasuki penggabungan baru dengan atom lain.
Hal ini persis mencerminkan cara berpikir logika formal, yang menyatakan bahwa yang keseluruhan hanyalah hasil penjumlahan bagian-bagiannya. Dengan demikian, karena berat molekular sama dengan jumlah dari atom-atom penyusunnya, dianggaplah bahwa atom-atom itu sendiri tidak mengalami perubahan, setelah mereka memasuki satu hubungan baru yang murni kuantitatif. Walau demikian, banyak sifat dari senyawa ini tidaklah dapat ditentukan dengan cara itu. Sesungguhnya, kebanyakan sifat senyawa sangat berbeda dari sifat unsur-unsur penyusunnya. Apa yang disebut “prinsip penggandengan” tidaklah dapat menerangkan perubahan ini. Cara berpikir ini hanya melihat satu sisi saja, tidak cukup, dengan kata lain, keliru.
Teori atom modern telah menunjukkan kekeliruan ide ini. Walaupun masih menerima bahwa struktur yang kompleks harus dijelaskan sebagai agregat dari faktor-faktor yang lebih elementer, teori atom modern telah menunjukkan bahwa hubungan antar unsur bukanlah sesuatu yang indiferen dan kuantitatif, melainkan dinamis dan dialektikal. Partikel-partikel elementer yang menyusun atom terus berinteraksi, saling bertukar dari satu atom ke atom yang lain. Mereka bukanlah konstanta yang tetap tapi setiap saat sekaligus merupakan diri mereka sendiri dan sesuatu yang lain sama sekali. Persis hubungan dinamik inilah yang menimbulkan sifat-sifat, ciri, dan identitas tertentu pada molekul senyawa yang dihasilkan, yang berbeda sama sekali dengan sifat, ciri dan identitas atom penyusunnya.
Dalam kombinasi baru ini, atom-atom adalah sekaligus diri mereka sendiri dan bukan diri mereka sendiri. Mereka berkombinasi dalam cara yang dinamik untuk menghasilkan satu entitas yang sama sekali berbeda, satu hubungan yang berbeda, yang, pada gilirannya, menentukan perilaku dari bagian-bagian penyusunnya. Dengan demikian, kita tidak hanya berurusan dengan “penggandengan” yang mati, satu agregat mekanik, tapi dengan satu proses. Untuk memahami sifat dari entitas sangatlah tidak cukup jika kita mereduksinya menjadi atom-atom penyusunnya. Sangatlah perlu untuk memahami kesalinghubungan dinamiknya, yaitu, sampai pada analisis yang dialektik, bukan formal.
David Bohm adalah salah satu dari sedikit orang yang menyediakan satu alternatif teoritik jadi terhadap apa yang dikenal sebagai “interpretasi Copenhagen”, sebuah interpretasi subjektivis terhadap mekanika kuantum. Analisis Bohm, yang jelas dipengaruhi oleh metode dialektika, menganjurkan pemikiran ulang terhadap mekanika kuantum dan satu cara baru untuk melihat hubungan antara yang sebagian dan yang keseluruhan. Ia menunjukkan bahwa interpretasi yang biasa terhadap teori kuantum tidaklah memberi cukup ide betapa luasnya revolusi yang telah dipicu oleh fisika modern.
“Sesungguhnya,” ujar Bohm, “ketika interpretasi ini diperluas pada teori medan, bukan hanya kesalingterhubungan antar bagian, tapi justru keberadaan mereka sendiri akan dilihat mengalir keluar dari hukum itu sendiri. Dengan demikian tidak sesuatupun tersisa bagi teori klasik, di mana yang keseluruhan diturunkan dari bagian-bagian yang telah lebih dulu ada, yang tersusun dengan cara yang telah ditetapkan di muka. Sebaliknya, apa yang kita lihat di sini mengingatkan kita akan hubungan antara yang keseluruhan dengan yang sebagian di antara organisme, di mana tiap organ tubuh bertumbuh dan menghidupi dirinya sendiri dengan cara yang sangat tergantung pada susunan secara keseluruhan.”[xiii]
Satu molekul gula dapat dipecah menjadi unsur-unsur atom penyusunnya tapi kemudian ia tidak lagi menjadi gula. Satu molekul tidak dapat direduksi menjadi unsur penyusunnya tanpa kehilangan identitasnya. Persis inilah masalah ketika kita mencoba menangani gejala yang kompleks dari sudut pandang yang murni kuantitatif. Penyederhanaan berlebihan yang diakibatkannya akan membimbing kita pada gambaran yang cacat dan sepihak karena aspek kualitatif-nya ditinggalkan. Persis melalui kualitas kita dimungkinkan membedakan satu hal dari hal lainnya. Kualitas menjadi dasar dari segala pengetahuan kita tentang dunia karena ia menyatakan realitas dasar dari segala hal, memperlihatkan batasan kritis yang hadir dalam segala tingkatan realitas material. Titik persis di mana perubahan kecil yang berlangsung bertahap menimbulkan perubahan keadaan adalah salah satu masalah paling mendasar dari ilmu pengetahuan. Inilah satu pertanyaan yang menempati posisi sentral dalam Materialisme yang Dialektik.

Organisme Kompleks

Hidup itu sendiri lahir dari satu lompatan kualitatif dari materi anorganik menjadi materi organik. Penjelasan tentang proses yang ditempuhnya adalah salah satu masalah yang paling penting dan menggairahkan bagi ilmu pengetahuan saat ini. Kemajuan ilmu kimia, yang menelaah secara rinci struktur molekul kompleks, meramalkan perilaku mereka dengan ketepatan tinggi dan mengidentifikasi peran dari tiap molekul dalam satu sistem hidup, telah merintis jalan bagi munculnya ilmu-ilmu baru, biokimia dan biofisika. Keduanya, berturut-turut, mengurusi reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam organisme hidup dan gejala-gejala fisika yang terdapat dalam proses kehidupan. Keduanya, pada gilirannya, telah digabungkan menjadi biologi molekular, yang telah mencatatkan berbagai kemajuan yang paling menakjubkan dalam tahun-tahun terakhir.
Dengan cara ini, perbedaan yang dulu ditetapkan antara materi anorganik dengan organik telah dihapuskan sama sekali. Para ahli kimia pertama menarik satu pembedaan yang kaku antara keduanya. Secara bertahap, dipahami bahwa hukum-hukum kimiawi yang sama berlaku pada molekul-molekul anorganik dan organik sekaligus. Semua senyawa yang mengandung karbon (dengan beberapa pengecualian pada senyawa-senyawa sederhana seperti karbon dioksida) dikelompokkan sebagai senyawa organik. Sisanya adalah anorganik. Hanya atom karbon yang sanggup membentuk rantai-rantai panjang, yang memungkinkan lahirnya kemungkinan variasi molekul kompleks yang tak terbatas.
Di abad ke-19, para ahli kimia menelaah sifat-sifat dari zat-zat “albuminus” (dari bahasa Latin yang berarti putih telur). Dari sini, ditemukan bahwa kehidupan bergantung pada protein, molekul besar yang tersusun dari asam amino. Pada awal abad ke-20, ketika Planck sedang membuat terobosannya dalam bidang fisika, Emil Fischer mencoba menggabungkan berbagai asam amino dalam rantai yang sedemikian rupa sehingga grup karboksilat dari satu asam amino akan selalu terikat dengan kelompok asam amino yang ada di sampingnya. Fischer menyebut rantai ini sebagai peptida, dari bahasa Yunani “mencerna”, karena ia berpikir bahwa protein-protein akan terurai menjadi rantai-rantai semacam itu dalam proses pencernaan makanan. Teori ini akhirnya dibuktikan kebenarannya oleh Max Bergmann di tahun 1932.
Rantai-rantai ini masih terlampau sederhana untuk menghasilkan rantai polipeptida kompleks yang diperlukan untuk menciptakan protein. Di samping itu, tugas untuk mengurai struktur molekul protein itu sendiri adalah tugas yang amat sulit. Sifat dari tiap protein tergantung dari hubungan khususnya terhadap tiap asam amino dalam rantai molekular. Di sini, lagi-lagi, kuantitas menentukan kualitas. Hal ini menyajikan satu masalah yang dulu nampaknya tidak akan pernah dapat dipecahkan oleh para ahli biokimia, karena jumlah susunan yang mungkin dari kesembilan belas asam amino yang dapat muncul dalam satu rantai berjumlah sekitar 120 juta milyar. Satu protein berukuran serum albumen, yang tersusun dari lebih 500 asam amino, dengan demikian, memiliki jumlah kemungkinan susunan sekitar 10600, yaitu , bilangan 1 diikuti 600 bilangan nol di belakangnya. Susunan lengkap dari salah satu molekul protein kunci – insulin – ditetapkan pertama kali oleh seorang ahli biokimia Inggris Fredrich Sanger di tahun 1953. Dengan menggunakan metode yang sama, ilmuwan lain berhasil menguraikan struktur dari serangkaian besar molekul protein. Kemudian, mereka berhasil mensintesa protein di laboratorium. Kini dimungkinkan untuk mensintesa banyak jenis protein, termasuk yang sangat kompleks seperti hormon pertumbuhan manusia, yang melibatkan satu rantai yang terdiri dari 188 asam amino.
Hidup adalah satu sistem interaksi yang kompleks, yang melibatkan sejumlah besar sekali reaksi kimia yang berlangsung terus-menerus dalam kecepatan tinggi. Tiap reaksi dalam jantung, darah, sistem syaraf, tulang dan otak berinteraksi dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Kerja-kerja yang dilakukan oleh tubuh mahluk hidup yang paling sederhana jauh lebih rumit dari apa yang dilakukan oleh komputer yang paling canggih sekalipun. Semua ini memungkinkan mahluk itu melakukan gerakan yang cepat, reaksi kilat terhadap perubahan sekecil apapun dalam lingkungan hidupnya, penyesuaian terus-menerus terhadap perubahan kondisi, baik internal maupun eksternal. Di sini, secara empatik, yang keseluruhan jauh melebihi jumlah dari bagian-bagiannya. Tiap bagian tubuh, tiap reaksi otot dan syaraf, saling tergantung satu sama lain. Di sini kita melihat satu-satunya kesalingterhubungan yang dinamis dan kompleks, dengan kata lain: dialektik, yang memungkinkan penciptaan dan pemeliharaan satu gejala yang kita kenal sebagai kehidupan.
Proses metabolisme berarti bahwa, pada saat apapun, organisme hidup selalu berubah, mengambil oksigen, air dan makanan (karbohidrat, protein, lemak, mineral dan lain-lain bahan baku), menegasi bahan-bahan ini dengan mengubah mereka menjadi material yang diperlukan untuk memelihara yang mengembangkan kehidupan dan membuang sisa yang tak berguna dari proses tersebut. Hubungan dialektik antara yang keseluruhan dan yang sebagian mewujudkan dirinya pada berbagai tingkat kompleksitas di alam, tercermin dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan:
a) Interaksi atomik dan hukum-hukum kimia menentukan hukum biokimia, tapi kehidupan itu sendiri berbeda dengan hukum-hukum itu secara kualitatif.
b) Hukum-hukum biokimia “menjelaskan” segala proses interaksi manusia dengan lingkungannya. Meski demikian, aktivitas dan pikiran manusia berbeda secara kualitatif dari proses biologis yang menyusunnya.
c) Tiap pribadi manusia, pada gilirannya, adalah satu hasil dari perkembangan lingkungan fisiknya. Meski demikian, interaksi kompleks dari keseluruhan pribadi yang menyusun satu masyarakat juga berbeda secara kualitatif dengan masing-masing pribadi. Pada setiap kasus, yang keseluruhan jauh melebihi jumlah dari bagian-bagian penyusunnya, dan mematuhi hukum-hukum yang sama sekali berbeda.
Pada analisis terakhir, ujung-ujungnya, seluruh keberadaan dan aktivitas manusia didasarkan pada hukum-hukum pergerakan atom. Kita semua adalah bagian dari alam raya yang material, yang merupakan satu kesatuan yang kontinyu, yang berfungsi seturut hukum-hukum internalnya. Sekalipun demikian, ketika kita berjalan melewati a) menuju c), kita membuat satu rangkaian lompatan kualitatif, dan harus bekerja seturut hukum-hukum yang berbeda untuk tiap “tingkatan”-nya; c) didasarkan pada b) dan b) didasarkan pada a), tapi tidak seorangpun yang waras akan mencoba menjelaskan pergerakan yang kompleks dalam masyarakat manusia melalui hukum-hukum atomik. Untuk alasan yang sama, sia-sialah kita mencoba mereduksi persoalan kriminalitas menjadi sekedar persoalan genetika atau asal-usul keturunan.
Satu angkatan bersenjata bukan sekedar jumlah total dari serdadu di dalamnya. Tiap aksi yang menggabungkan persenjataan secara masif, yang terorganisir secara militer, mengubah tiap sedadu baik secara fisik maupun moral. Selama kesatuan angkatan bersenjata terpelihara, ia akan tetap menjadi kekuatan yang mengerikan. Ini bukan semata persoalan jumlah. Napoleon sangat menyadari pentingnya moral, semangat juang dalam perang. Sebagai bagian dari kekuatan bersenjata yang besar dan berdisiplin, seorang serdadu sanggup menjalankan tindakan-tindakan heroik di medan laga, dan mengorbankan dirinya dalam situasi yang sangat ekstrim, yang tidak akan pernah dapat dilakukannya dalam kondisi normal sebagai seorang pribadi manusia. Tapi ia akan tetap menjadi seorang pribadi yang sama seperti sebelumnya. Ketika kesatuan dalam angkatan perang itu runtuh, seluruh angkatan perang itu akan luruh menjadi “atom-atom” individual, dan angkatan perang itu berubah menjadi gerombolan yang terdemoralisasi.
Engels sangat tertarik pada taktik-taktik militer, karena itu putri-putri Marx menjulukinya “sang Jenderal”. Ia mengikuti terus jalannya Perang Sipil Amerika dan Perang Krimea, ia menulis banyak artikel tentang perang-perang itu. Dalam Anti-Dühring, ia menunjukkan bagaimana hukum kuantitas dan kualitas terkait dengan taktik militer, contohnya, dalam kemampuan tempur relatif dari serdadu-serdadu Napoleon yang berdisiplin tinggi dan kavaleri Mesir yang disebut Mameluke:
“Sebagai kesimpulan, kita akan memanggil satu lagi saksi untuk peralihan kuantitas menjadi kualitas, yaitu Napoleon. Ia menggambarkan pertempuran antara kavaleri Perancis, yang terdiri dari penunggang-penunggang yang tidak mahir tapi berdisiplin, dan pasukan Mameluke, yang merupakan pasukan berkuda terbaik dalam pertempuran pada masanya tapi sangat tidak berdisiplin, sebagai berikut:
“‘Dua Mameluke pastilah bukan merupakan tandingan bagi tiga serdadu kavaleri Perancis; 100 Mameluk setara dengan 100 kavaleri Perancis; 300 kavaleri Perancis biasanya dapat memukul mundur 300 Mameluke, dan 1.000 kavaleri Perancis pasti dapat menghancurkan 1.500 Mameluke.’ Seperti apa yang dikatakan oleh Marx, satu jumlah minimum tertentu, sekalipun bervariasi, dari nilai-tukar diperlukan untuk memungkinkan pengubahannya menjadi kapital. Demikian pula dengan Napoleon. Satu detasemen kavaleri harus memiliki jumlah minimum tertentu agar dapat menerapkan kedisiplinan, yang terwujud dalam perintah-perintah yang ketat dan penggunaan yang terencana, untuk menjadikan dirinya dan bahkan mengangkat dirinya menjadi superior di hadapan pasukan kavaleri yang tidak teratur, sekalipun musuhnya memiliki kuda-kudan yang lebih bermutu, jauh lebih trampil berkuda dan bertempur, dan setidaknya sama beraninya dengan pasukan itu sendiri.”[xiv]

Proses Molekular dari Revolusi

Proses reaksi kimia melibatkan satu perlintasan atas hambatan besar yang dikenal sebagai keadaan transisi. Pada titik ini, sebelum reaktan-reaktan (unsur-unsur yang terlibat dalam reaksi) menjadi hasil reaksi, mereka semua berada dalam keadaan “bukan ini dan bukan itu”. Beberapa dari ikatan-ikatan atom telah tercerai dan beberapa ikatan yang lain sedang terbentuk. Enerji yang dibutuhkan untuk melewati titik kritis ini dikenal sebagai enerji Gibbs. Sebelum satu molekul dapat bereaksi, ia membutuhkan satu kuantitas enerji yang, pada titik tertentu, akan membawanya masuk dalam keadaan transisi. Pada suhu normal, hanya sejumlah kecil molekul reaktan yang memiliki enerji yang cukup untuk bereaksi. Pada suhu yang lebih tinggi, satu proporsi yang lebih besar akan memiliki enerji ini. Inilah mengapa pemanasan digunakan untuk mempercepat reaksi kimia. Proses itu juga dapat dipercepat dengan menggunakan katalis, yang kini luas digunakan dalam industri. Tanpa katalis, banyak proses, sekalipun masih akan terjadi, tapi akan terjadi dalam jangka waktu yang demikian panjang sehingga akan menjadi tidak ekonomis. Katalis tidak dapat mengubah komposisi dari zat-zat yang terlibat atau mengubah enerji Gibbs dari reaktan, tapi akan menyediakan jalur reaksi yang lebih mudah di antara reaktan-reaktan itu.
Terdapatlah analogi tertentu antara gejala ini dengan peran individu dalam sejarah. Satu kesalahpahaman yang utama tentang Marxisme adalah bahwa ia dikatakan tidak memberi tempat bagi peran individu dalam menentukan nasibnya sendiri. Menurut karikatur ini, pandangan materialis tentang sejarah mereduksi segala sesuatu pada “kekuatan-kekuatan produktif”. Umat manusia dilihat sebagai agen-agen buta dari kekuatan ekonomik atau boneka-boneka mati yang dipermainkan dalam panggung keniscayaan sejarah. Pandangan yang mekanistik dari proses sejarah ini (determinisme ekonomi) tidak memiliki kesamaan apapun dengan filsafat dialektika Marxisme.
Materialisme historis berangkat dari proposisi mendasar bahwa manusia menulis sejarahnya sendiri. Berlawanan dengan pandangan idealis bahwa umat manusia adalah agen yang mutlak bebas, Marxisme menjelaskan bahwa mereka dibatasi oleh kondisi material nyata dari masyarakat di mana mereka dilahirkan. Kondisi ini dibentuk secara mendasar oleh tingkat perkembangan kekuatan produktif, yang merupakan landasan bagi seluruh budaya manusia, politik dan agama. Meski demikian, hal-hal ini tidaklah dibentuk secara langsung oleh perkembangan ekonomi, tapi dapat dan memang memiliki kehidupannya sendiri. Hubungan yang sangat kompleks antara faktor-faktor ini memiliki sifat yang dialektik, bukan mekanik. Individu tidak dapat memilih kondisi di mana mereka dilahirkan. Kondisi-kondisi itu “ditentukan bagi mereka”. Mustahil juga bagi individu, seperti yang dikhayalkan oleh kaum idealis, untuk memaksakan kehendak mereka pada masyarakat, semata karena kebesaran intelektual atau kekuatan karakter mereka. Teori bahwa sejarah ditulis oleh “orang-orang besar” adalah dongeng nina-bobo yang hanya dapat diterima oleh balita. Ia memiliki nilai ilmiah setara dengan “teori konspirasi”, yang menyatakan bahwa revolusi disebabkan oleh pengaruh jahat “para agitator”.
Tiap buruh paham bahwa pemogokan tidaklah disebabkan oleh para agitator melainkan oleh buruknya tingkat upah dan kondisi kerja. Berlawanan dengan kesan yang ditulis oleh beberapa koran kuning, pemogokan bukanlah satu kejadian yang sering berulang. Selama bertahun-tahun, satu pabrik atau perusahaan dapat terlihat tenang. Para tenaga kerja tidak melakukan reaksi apa-apa, bahkan ketika upah dan kondisi kerja mereka diserang. Hal ini khususnya benar dalam kondisi pengangguran massal atau ketika tidak ada kepemimpinan dari serikat-serikat buruh. Ketidakpedulian mayoritas ini sering membuat para aktivis demoralisasi. Mereka menarik kesimpulan yang keliru bahwa kaum buruh “terbelakang”, dan tidak akan melakukan apa-apa. Tapi, kenyataannya, di bawah permukaan yang nampak tenang itu, perubahan tetaplah terjadi. Ribuan insiden kecil, komentar-komentar yang menyakitkan, ketidakadilan, kecelakaan, secara bertahap akan meninggalkan bekas pada kesadaran kaum buruh. Proses ini dengan tepat digambarkan Trotsky sebagai “proses molekular dari revolusi”. Ia adalah kesetaraan dari enerji Gibbs dalam sebuah reaksi kimia.
Dalam kehidupan nyata, seperti halnya dalam kimia, proses molekular membutuhkan waktu. Tidak akan ada seorangpun ahli kimia yang akan mengeluh karena reaksi yang diharapkannya membutuhkan waktu yang panjang, khususnya jika kondisi-kondisi yang dapat mempercepat jalannya reaksi (suhu tinggi, dan lain-lain) tidak hadir. Tapi, pada akhirnya, keadaan transisi pastilah tercapai. Pada titik ini, kehadiran suatu katalis adalah bantuan yang amat berarti untuk membawa proses kepada hasil yang diharapkan, dengan cara yang paling cepat dan ekonomis. Mirip dengan itu, pada titik tertentu, ketidakpuasan yang bertumpuk di pabrik akan mendidih. Seluruh situasi dapat berubah dalam jangka 24 jam. Jika para aktivis tidak siap, jika mereka membiarkan diri mereka tertipu oleh penampakan yang tenang itu, mereka akan mengalami kejutan yang sangat tidak menyenangkan.
Dalam dialektika, cepat atau lambat, semua hal berubah menjadi lawannya. Mengutip Injil, “yang pertama akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang pertama”. Kita telah melihat hal ini berulang kali, terutama dalam sejarah revolusi-revolusi besar. Kesadaran tumbuh dalam lompatan-lompatan mendadak. Hal ini dapat terlihat dalam pemogokan-pemogokan. Dan dalam tiap pemogokan kita dapat melihat unsur-unsur revolusi dalam bentuk yang belum berkembang, dalam bentuk janinnya. Dalam situasi semacam itu, kehadiran minoritas yang sadar dan berani akan memainkan satu peran yang mirip dengan peran katalis dalam reaksi kimia. Dalam keadaan-keadaan tertentu, bahkan seorang pribadipun dapat memainkan peran yang mutlak menentukan.
Di bulan November 1917, nasib Revolusi Rusia berada di tangan dua orang – Lenin dan Trotsky. Tanpa mereka, tak diragukan lagi bahwa revolusi akan dapat ditundukkan. Para pemimpin yang lain, Kamenev, Zinoviev dan Stalin, menyerah pada tekanan kelas-kelas lain. Masalahnya di sini bukanlah “kekuatan historis” yang abstrak, melainkan yang kongkrit, tentang tingkat kesiapan, kemampuan memandang ke depan, keberanian personal dan kemampuan memimpin. Bagaimanapun, kita sedang bicara tentang perjuangan yang dilakukan oleh mahluk hidup bukan sekedar persamaan matematik.
Apakah hal ini berarti bahwa interpretasi kaum idealis terhadap sejarah benar adanya? Apakah benar segalanya diputuskan oleh beberapa orang besar? Mari kita lihat sendiri apa yang dinyatakan oleh fakta. Selama seperempat abad sebelum 1917, Lenin dan Trotsky telah menghabiskan sebagian besar waktu mereka kurang-lebih terisolasi dari massa, seringkali bekerja dalam lingkaran kecil orang. Mengapa mereka tidak sanggup menghasilkan dampak yang demikian menentukan, misalnya, di tahun 1916? Atau di tahun 1890? Karena kondisi objektif tidak ada. Mirip dengan itu, seorang aktivis serikat buruh yang terus-menerus menyerukan pemogokan ketika tidak ada gairah untuk mengadakan aksi, akan segera menjadi bahan tertawaan. Mirip dengan itu, ketika revolusi terisolasi dalam kondisi keterbelakangan dan keseimbangan kelas berubah, tidak seorangpun, tidak juga Lenin dan Trotsky, mampu mencegah munculnya satu kontrarevolusi birokratik yang dipimpin oleh orang yang dalam segalanya berada di bawah keduanya, Stalin. Di sini, dalam kasus ini, kita melihat hubungan dialektik antara faktor-faktor objektif dan subjektif dalam sejarah manusia.

Kesatuan dan Saling Rasuk antara Hal-hal yang Berlawanan

Ke manapun kita menengok di alam ini, kita akan melihat ko-eksistensi (keberadaan yang saling berdampingan) yang dinamik antara kecenderungan-kecenderungan yang saling berlawanan. Ketegangan yang kreatif ini adalah apa yang melahirkan kehidupan dan pergerakan. Hal ini telah dipahami oleh Heraclitus dua setengah milenia lalu. Hal itu juga selalu hadir sebagai embrio dalam agama-agama Oriental, seperti dalam ide yin dan yang di Tiongkok, dan di dalam Buddhisme. Dialektika muncul di sini dalam bentuk mistik, yang bagaimanapun menunjukkan satu intuisi tentang bagaimana alam bekerja. Agama Hindu mengandung benih ide dialektik, ketika ia mengedepankan ketiga tahap penciptaan (Brahma), pemeliharaan atau pengaturan (Wisnu) dan penghancuran atau kekacauan (Shiwa). Dalam bukunya yang menarik tentang matematika chaos, Ian Stewart menunjukkan bahwa perbedaan antara dewa Shiwa, “Yang Tak Terjinakkan”, dan Wisnu bukanlah pertentangan antara yang jahat dan yang baik,melainkan bahwa prinsip keserasian dan kekacauan bersama-sama menyusun dasar dari seluruh keberadaan.
“Mirip dengan itu,” tulisnya, “para ahli matematika sedang mulai memandang keteraturan dan chaos sebagai dua perwujudan yang berbeda dari satu determinisme yang mendasar. Dan tidak satupun dari keduanya yang dapat hadir tanpa yang lain. Satu sistem dapat hidup dalam berbagai keadaan, beberapa lebih teratur, beberapa lebih kacau. Kita tidak mendapati dua kutub yang saling bertentangan, tapi satu spektrum yang kontinyu. Sebagaimana nada-nada yang harmonis dan disharmonis bergabung dalam satu keindahan musikal, demikian pula keteraturan dan chaos bergabung dalam satu keindahan matematis.”[xv]
Dalam filsafat Heraclitus, semua ini muncul dalam bentuk terkaan yang didasari oleh ilham yang didapatnya. Kini hipotesis itu telah dibenarkan oleh sejumlah besar contoh. Kesatuan dari hal-hal yang bertentangan terletak pula di inti atom, dan seluruh alam semesta ini tersusun atas molekul, atom, dan partikel-partikel sub-atomik. Hal ini dijelaskan dengan baik sekali oleh R. P. Feynman: “Segala hal, bahkan diri kita sendiri, tersusun dari butiran-butiran halus, bagian-bagian plus dan minus yang berinteraksi dengan sangat kuat, semua saling menyeimbangkan dengan rapi.”[xvi]
Masalahnya adalah: bagaimana mungkin yang plus dan yang minus “saling menyeimbangkan dengan rapi”? Ini adalah ide yang sangat kontradiktif! Dalam matematika dasar, yang plus dan yang minus tidaklah “saling menyeimbangkan”. Keduanya saling menghancurkan. Fisika modern telah menyingkap satu kekuatan besar yang bekerja di jantung atom-atom. Mengapa kekuatan elektron dan proton yang saling bertentangan tidak saling menghancurkan? Mengapa atom tidak pecah berhamburan begitu saja? Penjelasan yang kini dipegang orang merujuk pada “strong force” yang menjalin atom menjadi satu kesatuan. Tapi fakta bahwa kesatuan dari hal-hal yang bertentangan merupakan dasar segala realitas tetap tak terbantahkan.
Di dalam inti atom, terdapat dua kekuatan yang saling bertentangan, daya tarik dan daya tolak. Di satu pihak, terdapat tolakan listrik yang, jika tidak dihalangi, akan dapat dengan ganas merobek-robek struktur atom. Di pihak lain, terdapat daya tarik yang dahsyat yang mengikat partikel-partikel inti atom dalam satu kesatuan. Walau demikian, daya tarik ini memiliki keterbatasan, di luar batas itu daya tarik ini tidak lagi bekerja. Daya tarik, tidak seperti daya tolak, memiliki jangkauan yang sangat pendek. Dalam inti atom yang sangat kecil, daya tarik ini dapat menjaga keliaran daya tolak. Tapi dalam inti atom yang besar, kekuatan daya tolak tidak dapat dengan mudah dikendalikan.
Di luar batas titik kritis tertentu, ikatan itu pecah dan lompatan kualitatif terjadilah. Seperti tetes air yang besar, yang akan selalu berada di ambang perpecahan dengan badan air secara keseluruhan. Ketika satu neutron tambahan ditambahkan pada inti atom, kecenderungan untuk pecah bertambah dengan cepat. Inti atom pecah, membentuk dua inti atom yang lebih kecil, yang terbang berhamburan dengan liar sambil membebaskan sejumlah raksasa enerji. Inilah yang terjadi dalam pembelahan nuklir. Walau demikian, proses yang analog dengan proses ini dapat dilihat dalam berbagai tingkatan alami. Air yang jatuh pada permukaan yang licin akan pecah menjadi pola tetes air yang kompleks. Ini karena dua kekuatan yang bertentangan bekerja bersamaan: gravitasi, yang mencoba menyebarkan air menjadi lembaran tipis di atas permukaan meja, dan tegangan permukaan, daya tarik antara satu molekul air dengan molekul air lainnya, yang mencoba mempertahankan bentuk asalnya, membentuk gumpalan-gumpalan yang kompak.
Alam nampaknya bekerja dalam pasangan-pasangan. Kita memiliki “strong force” dan “weak force” di tingkat sub-atomik; daya tarik dan daya tolak; kutub utara dan selatan dalam magnetisme; positif dan negatif dalam listrik; materi dan anti-materi; laki-laki dan perempuan dalam biologi; ganjil dan genap dalam matematika; bahkan konsep “right-handedness” dan “left-handedness” dalam hubungannya dengan spin dari partikel-partikel sub-atomik. Terdapatlah satu simetri tertentu, di mana kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan, seperti kata Feynman “saling menyeimbangkan”, atau, seperti ungkapan Heraclitus yang lebih puitis, “saling bersepakat dengan saling berbeda seperti regangan yang saling bertentangan dari busur dan talinya dalam sebuah alat musik”. Terdapatlah dua macam materi, yang dapat disebut positif dan negatif. Yang sama saling tolak dan yang bertentangan saling tarik.

Positif dan Negatif

Positif tidak memiliki makna tanpa negatif. Keduanya tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Dahulu Hegel menjelaskan bahwa “keberadaan yang murni” (yang bebas dari segala kontradiksi) sama maknanya dengan “ketiadaan yang murni”, yakni satu abstraksi kekosongan. Mirip dengan itu, jika segala hal adalah putih, tidak akan ada bedanya bagi kita jika segala hal adalah hitam. Segala hal di dunia nyata mengandung positif dan negatif, ada dan tiada, karena segala hal selalu berada dalam keadaan bergerak dan berubah yang kontinyu. Kebetulan, matematika menunjukkan bahwa nol itu sendiri tidaklah sama dengan ketiadaan.
“Nol,” tulis Engels, “karena ia adalah negasi dari segala kuantitas definit, maka ia tidaklah kosong dari segala hakikat. Sebaliknya, nol memiliki hakikat yang definit. Sebagai batas antara segala yang positif dan segala yang negatif, ia bukan hanya satu bilangan yang sangat definit, tapi juga karenanya menjadi lebih penting dari segala bilangan lain yang terikat padanya. Nyatanya, nol lebih kaya dalam hakikat ketimbang segala bilangan yang lain. Tempatkan ia di sebelah kanan dari bilangan manpun, ia akan memberi nilai yang sepuluh kali lipat, pada sistem bilangan kita, kepada bilangan tersebut. Kita memang dapat menempatkan simbol lain sebagai ganti bilangan nol itu, tapi hanya dalam kondisi bahwa simbol-simbol itu melambangkan nol = 0. Jadi, merupakan sifat dari nol itu sendiri yang menempatkannya dalam penerapan ini dan bahwa hanya dirinya sendiri yang dapat diterapkan dengan cara seperti ini. Nol menghancurkan segala bilangan lain yang dikalikan kepadanya; ia dapat bergabung dengan bilangan lain sebagai pembagi atau terbagi, dalam kasus yang pertama ia akan memberi nilai besar tak berhingga, dalam kasus yang kedua ia akan memberi nilai kecil tak berhingga; ia adalah satu-satunya bilangan yang berhubungan dengan ketakberhinggaan terhadap segala bilangan yang lain. 0/0 dapat menyatakan segala bilangan lain antara -¥ sampai +¥, dan dalam tiap kasus akan mewakili satu besaran yang nyata.”[xvii]
Besaran negatif dari aljabar hanya memiliki makna dalam hubungannya pada besaran positif, tanpa yang terakhir, yang pertama tak akan memiliki realitas apapun. Dalam kalkulus diferensial, hubungan dialektik antara ada dan tiada sangatlah jelas. Hal ini dengan panjang-lebar diuraikan oleh Hegel dalam Science of Logic. Ia tersenyum geli dengan kebingungan para ahli matematika tradisional oleh penggunaan satu metode yang menggunakan bilangan yang kecil tak berhingga, dan “tidak dapat menerima usulan bahwa jumlah tertentu tidak sama dengan nol tapi demikian kecilnya sehingga dapat diabaikan”, dan, walau demikian, selalu memberi hasil yang sangat eksak.[xviii]
Terlebih lagi, segala sesuatu selalu berada dalam keadaan terhubung dengan hal lainnya. Bahkan lewat jarak yang sangat jauh, kita terpengaruh oleh cahaya, radiasi dan gravitasi. Walau mereka tidak terdeteksi oleh indera kita, ada proses interaksi, yang menghasilkan serangkaian perubahan. Cahaya ultra-violet sanggup “menguapkan” elektron dari permukaan logam dengan cara yang serupa seperti cahaya matahari menguapkan air dari permukaan laut. Banesh Hoffmann menyatakan: “Masih tetap merupakan pemikiran yang aneh dan menggetarkan, bahwa Anda dan saya secara teratur saling bertukar partikel satu sama lain, dan dengan bumi dan dengan segala mahluk di dalamnya, dan dengan matahari dan bulan dan bintang-bintang, bahkan sampai galaksi yang terjauh sekalipun.”[xix]
Persamaan Dirac untuk enerji yang terkandung dalam satu elektron mengandung dua jawaban – satu positif dan satu negatif. Mirip dengan akar kuadrat dari satu bilangan, yang selalu dapat berupa bilangan positif atau negatif. Walau demikian, di sini jawaban yang bernilai negatif akan mengindikasikan satu hal yang kontradiktif – enerji negatif. Ini adalah konsep yang sangat absurd jika dilihat dari sudut pandang logika formal. Karena enerji adalah kesetaraan dari massa, enerji negatif berarti massa negatif. Dirac sendiri terganggu dengan apa yang diindikasikan oleh teorinya sendiri. Ia terpaksa meramalkan keberadaan partikel yang akan serupa dengan elektron, tapi dengan muatan positif, satu materi yang belum pernah terdengar sebelumnya.
Pada tanggal 2 Agustus 1932, Robert Millikan dan Carl D. Anderson dari California Institute of Technology menemukan satu partikel yang massanya jelas sama dengan elektron, tapi dengan arah gerak yang berlawanan. Ini bukan elektron, atau proton atau neutron. Ini adalah jenis materi baru – anti-materi – yang telah diramalkan oleh persamaan Dirac. Kemudian ditemukan bahwa elektron dan positron, kala mereka bertumbukan, akan saling menghancurkan, menghasilkan dua foton (partikel cahaya). Dengan cara yang sama, sebuah foton yang menembus materi dapat terpecah menjadi elektron-virtual dan positron-virtual.
Gejala kesalingberlawananan hadir dalam fisika, di mana, misalnya, tiap partikel memiliki anti-partikelnya (elektron dan positron, proton dan anti-proton, dsb.). Mereka bukan hanya saling berbeda, tapi saling berlawanan dalam maknanya yang paling harafiah. Mereka sama persis dalam segala aspeknya, kecuali satu: mereka memiliki kutub listrik yang berlawanan – positif dan negatif. Kebetulan, bukan merupakan masalah mana yang dikatakan positif dan mana yang negatif. Hal yang terpenting adalah hubungan di antara keduanya.
Tiap partikel mengandung kualitas yang dikenal sebagai spin (berputar pada sumbunya), yang dinyatakan dalam plus atau minus, tergantung dari arahnya. Kelihatannya aneh, tapi gejala left-handedness dan right-handedness (berputar searah atau berlawanan arah jarum jam) yang diketahui memainkan peranan penting dalam biologi, juga memiliki kesetaraan dalam tingkat sub-atomik. Partikel dan gelombang berdiri dalam posisi saling berlawanan satu sama lain. Fisikawan Denmark Niels Bohr merujuknya, dengan agak membingungkan, sebagai “konsep yang saling berkomplementer”, yang dimaksudkannya adalah bahwa keduanya saling tidak berhubungan satu sama lain.
Penelitian terbaru di bidang fisika partikel telah memberi kejelasan tentang tingkatan materi terdalam yang telah ditemukan sejauh ini – quark. Partikel-partikel ini juga memiliki “kualitas” yang saling bertentangan yang tidak dapat diperbandingkan dengan bentuk-bentuk yang jamak dikenal, sehingga para fisikawan terpaksa menciptakan pengistilahan baru untuk menggambarkannya. Maka kita mendapati up-quark, down-quark, charm-quark, strange-quark, dst. Sekalipun kualitas dari quark masih terus dicoba ditelusuri, satu hal sudah jelas: bahwa sifat saling berlawanan hadir pula dalam tingkatan materi paling dasar yang kini diketahui oleh ilmu pengetahuan.
Gejala universal akan kesatuan hal-hal yang berlawanan ini, pada kenyataannya, merupakan daya-penggerak [motor-force] dari semua pergerakan dan perkembangan di alam. Ia adalah alasan mengapa tidak perlu kita membuat satu konsep impuls eksternal untuk menjelaskan pergerakan dan perubahan – yang merupakan kelemahan utama dari semua teori mekanistik. Pergerakan, yang di dalam dirinya melibatkan pula kontradiksi, hanya dimungkinkan bila merupakan akibat dari kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan dan ketegangan internal yang terletak di jantung semua bentuk materi.
Kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan dapat hadir dalam sebuah keadaan kesetimbangan yang tidak stabil untuk jangka waktu yang sangat panjang, sampai sebentuk perubahan, bahkan perubahan kuantitatif yang sangat kecil sekalipun, menghancurkan kesetimbangan itu dan melahirkan satu keadaan kritis yang dapat menghasilkan satu perubahan kualitatif. Di tahun 1936, Bohr memperbandingkan struktur inti atom dengan setetes cairan, contohnya, setetes air hujan yang tergantung pada pucuk daun. Di sini gaya gravitasi bertempur dengan tegangan permukaan yang berusaha mempertahankan bentuk tetes air itu. Penambahan beberapa molekul saja pada cairan itu akan membuatnya tidak stabil. Tetes air yang diperbesar itu mulai bergetar, tegangan permukaan tidak lagi sanggup menahan massa air pada daun dan seluruh tetes itu akan jatuh ke bumi.

Pembelahan Nuklir

Contoh yang nampaknya sederhana itu, di mana banyak kesetaraannya dapat diamati ratusan kali dalam pengalaman hidup sehari-hari, adalah satu analogi yang cukup dekat dengan proses yang bekerja dalam satu pembelahan nuklir. Inti atom itu sendiri tidaklah diam, namun terus berada dalam keadaan berubah. Dalam seper seribu milyar detik, telah terjadi milyaran tumburan acak antar partikel. Partikel-partikel secara terus-menerus memasuki dan keluar dari inti atom. Walau demikian, inti atom itu sendiri diikat erat oleh apa yang sering digambarkan sebagaistrong force. Ia akan terus berada dalam kesetimbangan yang tidak stabil, “di ambang chaos“, adalah penggambaran yang diterakan oleh teori chaos tentang keadaan ini.
Seperti setetes cairan akan bergetar ketika molekul-molekul bergerak di dalamnya, partikel-partikel terus pula bergerak, mengubah diri mereka sendiri, saling bertukar enerji. Seperti tetes hujan yang diperbesar, ikatan antar partikel dalam inti atom yang besar juga semakin tidak stabil dan lebih mungkin pecah. Peluncuran partikel alpha dari permukaan inti atom berguna untuk membuatnya semakin kecil dan tenang. Sebagai hasilnya, ia menjadi stabil. Tapi, telah ditemukan bahwa, dengan membombardir inti atom besar dengan neutron, inti atom dapat dibelah, menghasilkan sejumlah raksasa enerji yang tadinya terkunci rapat di dalam atom. Inilah proses pembelahan nuklir. Proses ini dapat terjadi bahkan tanpa campur-tangan partikel dari luar. Proses pembelahan spontan (peluruhan radio aktif) terjadi sepanjang waktu di alam. Dalam waktu satu detik, satu pon uranium mengalami empat kali pembelahan spontan, dan partikel alpha dipancarkan dari sekitar delapan juta inti atom. Semakin berat inti atom, semakin mungkin proses pembelahan nuklir terjadi.
Kesatuan dari hal-hal yang bertentangan merupakan akar dari kehidupan itu sendiri. Ketika spermatozoa pertama kali ditemukan, orang berpikir bahwa mereka adalah “homunculae“, miniatur sempurna dari manusia, yang – seperti Flopsi dalam Uncle Tom’s Cabin – “baru tumbuh”. Kenyataannya, prosesnya jauh lebih kompleks dan dialektik. Reproduksi seksual tergantung dari kombinasi sperma dan sel telur, dalam satu proses di mana keduanya dihancurkan dan dipelihara sekaligus, membawa semua informasi genetik yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah janin. Setelah melalui serangkaian perubahan, yang sangat mirip dengan jalur evolusi yang ditempuh mahluk hidup dari pembelahan sel tunggal, akhirnya menghasilkan seorang pribadi yang sama sekali baru. Terlebih lagi, hasil dari penyatuan ini mengandung gen dari kedua induknya, tapi dengan susunan yang berbeda dari keduanya sekaligus. Maka, apa yang kita lihat di sini bukanlah sekedar reproduksi tapi sebuah perkembangan yang sejati. Keragaman yang semakin meningkat yang dimungkinkan dari sini adalah salah satu keuntungan evolusioner besar yang dimiliki oleh proses reproduksi seksual.
Kontradiksi dapat ditemukan dalam tiap tingkatan alam, dan kita dapat meremehkan semua logika yang menyangkal keberadaannya. Bukan hanya sebuah elektron tunggal dapat berada di dua atau lebih tempat sekaligus, tapi ia dapat bergerak ke berbagai arah dalam waktu bersamaan. Kita tak dapat berbuat lain selain menyetujui Hegel: mereka ada dan sekaligus tidak ada. Semua hal berubah menjadi lawannya. Elektron yang bertegangan listrik negatif berubah menjadi positron yang bertegangan positif. Sebuah elektron yang bergabung dengan proton tidaklah hancur, seperti yang semestinya diharapkan, tapi menghasilkan satu partikel baru, neutron, yang bertegangan netral.
Hukum-hukum logika formal telah mendapat kekalahan yang memalukan dalam bidang fisika modern, di mana mereka telah menunjukkan diri kurang sanggup menangani berbagai proses kontradiktif yang terjadi di tingkat sub-atomik. Partikel-partikel, yang luruh demikian cepat sehingga sangat sulit dikatakan apakah mereka memang benar ada atau tidak, menimbulkan satu masalah yang tak terselesaikan bagi sistem berpikir yang mencoba menghalangi pandangan tentang kontradiksi baik dalam alam maupun dalam pikiran. Hal ini seketika membawa kita pada pada kontradiksi karakter yang tak terselesaikan. Pikiran akan mendapati dirinya bertentangan dengan fakta yang ditemukan dan telah berulang kali dibenarkan oleh percobaan dan pengamatan. Kesatuan dari proton dan elektron adalah neutron. Tapi jika sebuah positron bergabung dengan sebuah netron, hasilnya adalah pemancaran sebuah elektron dan neutron itu akan berubah menjadi proton. Melalui proses tanpa akhir ini, alam semesta menciptakan, dan mencipta ulang, dirinya berulang kali. Ia tidak memerlukan satu tenaga dari luar, satu “impuls pertama”, seperti yang dikemukakan oleh fisika klasik. Tidak perlu apapun, kecuali pergerakan yang tak terbatas, tak terhenti, dari materi menurut hukum-hukum objektif yang terkandung di dalam dirinya sendiri.

Pertentangan Antar-Kutub?

Pengkutuban adalah satu ciri alam yang selalu hadir di manapun dan kapanpun. Bukan hanya ia hadir dalam pengkutuban Utara dan Selatan di bumi. Pengkutuban juga ditemukan di matahari dan bulan dan planet-planet lain. Ia juga hadir di tingkat sub-atomik, di mana inti-inti atom berperilaku persis seakan mereka memiliki, bukan hanya satu, melainkan dua pasang kutub magnetis.
“Dialektika,” tulis Engels, “telah membuktikan dari hasil pengalaman kita akan alam sejauh ini bahwa semua kutub yang bertentangan secara umum ditentukan oleh aksi yang dilakukan oleh kedua kutub yang saling berseberangan satu terhadap yang lain, bahwa pemisahan dan pertentangan kedua kutub ini hanya hadir dalam kesalingterhubungan dan kesatuan mereka, dan, sebaliknya, bahwa kesatuan mereka hanya hadir dalam pemisahan dan kesalingterhubungan mereka hanya hadir dalam kesalingberlawanan mereka. Jika hal ini telah dipahami, tidak akan lagi ada persoalan tentang penghapusan final atas tarikan dan tolakan, atau pemisahan final antara bentuk-bentuk pergerakan pada materi di satu kutub dan bentuk-bentuk pergerakan pada materi di kutub yang lain, dan karena itu, tidak akan ada lagi persoalan tentang kesalingrasukan atau tentang pemisahan mutlak antara kedua kutub tersebut. Akan setara halnya jika kita menuntut bahwa kutub-kutub utara dan selatan magnet saling meniadakan diri mereka sendiri, atau bahwa dengan membelah sebatang magnet kita akan memperoleh satu batang dengan hanya kutub utara tanpa kutub selatan, dan satu batang dengan kutub selatan tanpa kutub utara.”[xx]
Ada beberapa hal yang dianggap orang sebagai hal yang mutlak beroposisi dan tak akan pernah bergeser dari situ. Contohnya, ketika kita ingin menggambarkan sesuatu yang sangat tidak cocok satu sama lain, kita akan menggunakan istilah “kutub yang berlawanan” – kutub utara dan selatan dianggap sebagai gejala yang mutlak dan akan selamanya saling berlawanan. Selama lebih dari seribu tahun, para pelaut mempercayakan nasib mereka pada kompas, yang membimbing mereka melewati lautan tak dikenal, selalu menunjuk pada satu hal misterius yang disebut kutub utara. Walau demikian, penelitian yang lebih dekat memperlihatkan bahwa kutub utara bukanlah satu hal yang tetap atau stabil. Bumi ini dilingkungi oleh medan magnet yang kuat (satu sumbu dua kutub geosentrik), seakan satu magnet raksasa diletakkan di pusat bumi, sejajar dengan sumbu bumi. Hal ini berhubungan dengan komposisi inti bumi yang mengandung logam, yang kebanyakan tersusun dari unsur besi. Dalam 4,6 milyar sejak tata-surya tercipta, batuan di bumi telah dibentuk dan disusun ulang berulang kali. Dan bukan hanya batuan, tapi juga segala hal yang lain. Pengukuran yang rinci dan penyelidikan kini telah membuang segala keraguan bahwa lokasi kutub magnetik bumi selalu bergeser. Pada masa sekarang, kutub-kutub ini bergeser dengan kecepatan yang sangat rendah – 0,3 derajat tiap sejuta tahun. Gejala ini adalah cerminan dari perubahan kompleks yang terjadi di bumi, atmosfer dan medan magnetik matahari.
Pergeserannya terlalu kecil sehingga selama berabad-abad hal ini tidaklah terdeteksi. Bagaimanapun, bahkan proses yang sangat tidak terasa ini telah dan akan terus melahirkan lompatan yang mendadak dan spektakular, di mana kutub utara dan kutub selatan bertukar tempat. Perubahan dalam lokasi kutub diiringi oleh fluktuasi dalam kekuatan medan magnetik itu sendiri. Proses yang bertahap ini, yang dicirikan oleh melemahnya medan magnet, berpuncak pada lompatan yang mendadak. Kutub-kutub bertukar tempat, benar-benar saling bertukar menjadi lawannya. Setelah ini, medan magnet kembali ke keadaannya semula dan kembali menguat.
Perubahan revolusioner ini telah terjadi berulang kali selama sejarah bumi. Diperkirakan bahwa telah terjadi lebih dari 200 kali pertukaran kutub selama 65 juta tahun; setidaknya empat kali pertukaran telah terjadi selama empat milyar tahun terakhir. Sekitar 700.000 tahun lalu, kutub utara magnetik terletak di satu tempat di sekitar Antartika, lokasi kutub selatan geografis yang sekarang. Pada saat ini, kita berada dalam proses melemahnya medan magnet bumi, yang niscaya akan berpuncak pada pembalikan kutub kelak di kemudian hari. Telaah tentang sejarah kemagnetan bumi adalah bidang khusus dari cabang ilmu baru – paleomagnetisme– yang mencoba merekonstruksi peta dari semua pembalikan kutub sepanjang sejarah planet kita.
Penemuan paleomagnetisme, pada gilirannya, telah menghasilkan bukti-bukti kuat tentang ketepatan teori pergeseran lempeng benua. Ketika batuan (terutama batuan volkanik) menghasilkan mineral yang kaya akan besi, ia akan bereaksi pada medan magnet yang ada pada saat itu, dengan cara yang sama seperti sebatang besi bereaksi dengan magnet, atom-atomnya menyusun diri searah dengan sumbu medan. Perilakunya akan sama dengan perilaku kompas. Dengan memperbandingkan arah susunan mineral dalam batuan yang usianya sama dari berbagai benua, dimungkinan untuk melacak pergerakan benua-benua, termasuk benua yang tidak ada lagi saat ini, atau hanya tinggal sisa-sisanya saja.
Dalam pembalikan kutub kita melihat satu contoh yang paling jelas tentang hukum dialektika tentang kesatuan dan kesalingrasukan dari hal-hal yang bertentangan. Utara dan selatan – kutub-kutub saling bertentangan dalam makna yang paling harafiah – bukan saja terikat tanpa dapat dipisahkan tapi juga saling menentukan keberadaan satu sama lain melalui proses yang kompleks dan dinamis, yang berpuncak pada lompatan mendadak di mana gejala yang dianggap tetap dan tidak akan berubah justru saling bertukar menjadi lawannya. Dan proses dialektik ini bukan cuma angan-angan Hegel dan Engels, tapi secara kuat ditunjukkan oleh penemuan-penemuan terbaru dalam bidang paleomagnetisme. Benar seperti yang telah dikatakan, “jika mereka ini diam, batu-batu akan berbicara!”
Gaya tarik dan gaya tolak adalah satu perluasan dari hukum kesatuan dan salingrasuk antar hal-hal yang bertentangan. Hukum itu melandasi segala proses di alam, dari gejala yang paling kecil sampai yang paling besar. Pada inti atom terdapat gaya tarik dan gaya tolak. Atom hidrogen, contohnya, tersusun dari sebuah proton dan sebuah elektron yang terikat oleh daya tarik listrik. Muatan yang dibawa oleh sebuah partikel boleh jadi postif atau negatif. Muatan yang serupa saling menolak, sementara yang berlawanan saling menarik. Dengan demikian, di dalam inti atom, proton saling menolak dengan sesamanya, tapi inti atom itu diikat dengan gaya-gaya nuklir yang luar biasa kuat. Dalam inti-inti atom yang sangat berat, gaya tolak listrik akan mencapai titik di mana gaya nuklir dapat diatasi dan inti atom itu pecah berhamburan.
Engels menunjukkan peran universal dari gaya tarik dan gaya tolak:
“Semua gerak tersusun dari interaksi dari gaya tarik dan gaya tolak. Gerak, dengan demikian, hanya dimungkinkan ketika setiap gaya tarik diimbangi oleh gaya tolak tertentu di tempat yang lain. Kalau tidak demikian, salah satu pihak akan unggul dari yang lain dan gerak itu sendiri akan terhenti. Maka semua gaya tarik dan gaya tolak di alam semesta haruslah saling menyeimbangkan satu sama lain. Dengan demikian hukum yang mengatur bahwa gerak tidak mungkin dihancurkan ataupun diciptakan dinyatakan dalam bentuk bahwa tiap gerak tarikan dalam alam semesta harus memiliki penyeimbang gerak tolakan yang setara dan sebaliknya; atau, seperti yang dinyatakan oleh filsafat kuno – jauh sebelum perumusan ilmu-alam menyatakan hukum kekekalan gaya atau enerji: jumlah dari semua gaya tarik di alam semesta adalah sama dengan jumlah semua gaya tolak di dalamnya.”
Pada masa Engels, ide tentang gerak yang dominan diturunkan dari mekanika klasik, di mana gerak dihubungkan dengan satu sebab dari luar yang mengatasi kekuatan inersia. Engels agak sinis dengan istilah “gaya”, yang dianggapnya sepihak dan tidak cukup untuk menggambarkan proses nyata yang terjadi di alam. “Semua proses alami,” tulisnya, “selalu dari kedua belah pihak, semua berdasarkan pada setidaknya dua bagian yang bekerja, aksi dan reaksi. Pandangan tentang gaya, yang memiliki akar dari aksi organisme manusia pada dunia eksternalnya dan, lebih jauh lagi, dari mekanika terestrial, menyatakan bahwa hanya satu bagian yang aktif, yang bekerja, bagian lainnya pasif dan hanya menerima saja.”[xxi]
Engels telah maju jauh melampaui jamannya ketika ia mengeluarkan kritik yang tajam atas pandangan tersebut, yang telah pula diserang oleh Hegel. Dalam History of Philosophy, Hegel menyatakan bahwa “Lebih baik (untuk menyatakan) bahwa sebuah magnet memiliki jiwa (seperti yang dinyatakan Thales) daripada menyatakan bahwa dia memiliki gaya tarik; gaya adalah sejenis sifat yang, terpisah dari materi, dikemukakan sebagai sejenis predikat – sementara jiwa, di pihak lain,adalah pergerakan itu sendiri, identik dengan sifat materi itu sendiri.” Pernyataan Hegel ini, yang dikutip dengan penuh persetujuan oleh Engels, mengandung satu ide yang mendasar – bahwa gerak dan enerji adalah hal yang terkandung dalam materi itu sendiri. Materi bergerak karena kekuatan sendiri dan mengorganisir dirinya sendiri.
Bahkan kata “enerji” tidak, dalam pendapat Engels, terlalu mencukupi, sekalipun jauh lebih disukai daripada “gaya”. Penolakannya adalah bahwa “Istilah itu masih mengesankan bahwa ‘enerji’ adalah sesuatu yang berada di luar materi, sesuatu yang ditanamkan ke dalamnya. Tapi, dalam segala keadaan, istilah itu masih lebih baik dari istilah ‘gaya’.”[xxii] Hubungan yang sejati telah diditunjukkan oleh teori Einstein tentang kesetaraan massa dan enerji, yang menunjukkan bahwa materi dan enerji adalah dua hal yang sama dan satu. Hal ini persis merupakan sudut pandang materialisme dialektik, seperti yang dinyatakan oleh Engels, bahkan telah diantisipasi oleh Hegel, seperti yang ditunjukkan oleh kutipan di atas.

Negasi dari Negasi

Tiap bidang ilmu pengetahuan memiliki kosa katanya sendiri, istilah-istilah yang seringkali tidak sama maknanya dengan penggunaannya sehari-hari. Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai kesulitan dan kesalahpahaman. Kata “negasi” umumnya dimaknai sebagai sekedar penghancuran, pemusnahan. Penting untuk dipahami bahwa dalam dialektika, negasi memiliki hakikat yang sama sekali berbeda. Ia bermakna menghancurkan dan memelihara pada saat yang bersamaan. Kita dapat menegasi sebutir benih dengan menginjaknya hancur. Benih itu “dinegasi” tapi bukan dalam makna yang dialektik! Jika benih itu dibiarkan, diberi kondisi yang menguntungkan, benih itu akan bertumbuh. Dengan demikian, ia telah menegasi dirinya sendiri sebagai sebutir benih dan tumbuh menjadi sebatang tanaman yang, pada tahap lanjutnya, akan mati pula, menghasilkan benih-benih baru.
Nampaknya, hal ini menghasilkan satu jalan berputar yang kembali ke titik asalnya. Walau demikian, tiap tukang kebun profesional tahu bahwa tiap butir benih yang nampaknya identik sebetulnya bervariasi, dari generasi ke generasi, yang akhirnya dapat menghasilkan bahkan spesies yang sama sekali baru. Para tukang kebun juga tahu bahwa beberapa jenis tertentu dapat direkayasa dengan menggunakan pembiakan selektif. Persis rekayasa seleksi inilah yang memberi Darwin satu petunjuk penting tentang proses seleksi alam yang terjadi secara spontan di alam, dan merupakan kunci untuk memahami perkembangan semua tumbuhan dan hewan. Apa yang kita lihat di sini bukanlah sekedar perubahan, tapi perkembangan yang sejati, yang biasanya berjalan dari bentuk-bentuk yang sederhana ke bentuk-bentuk yang lebih kompleks, termasuk molekul-molekul kehidupan yang kompleks itu sendiri, yang, pada titik tertentu, berkembang dari molekul materi anorganik.
Perhatikanlah contoh berikut, yang datang dari mekanika kuantum. Apa yang terjadi ketika sebuah elektron bersatu dengan sebuah foton? Elektron itu akan mengalami satu “lompatan kuantum” dan foton itu lenyap. Hasilnya bukanlah sejenis senyawa atau kesatuan mekanik. Hasilnya justru elektron itu sendiri, tapi dengan tingkat energi yang lebih tinggi. Hal yang sama terjadi ketika sebuah elektron bersatu dengan sebuah proton. Elektron itu lenyap dan protonnya tetap seperti semula, hanya tingkat enerji dan muatannya yang berbeda. Ia kini bermuatan netral dan menjadi neutron. Secara dialektik, elektron itu telah dihancurkan dan dipelihara pada saat yang bersamaan. Ia lenyap tapi tidak dimusnahkan. Ia masuk ke dalam partikel yang baru dan menyatakan dirinya sebagai perubahan enerji dan muatan.
Orang-orang Yunani kuno sangat akrab dengan diskusi yang dialektik. Dalam sebuah debat yang dijalankan dengan benar, satu ide dikemukakan (tesis) dan kemudian disambut dengan ide yang berlawanan (antitesis) yang menegasinya. Akhirnya, melalui proses diskusi yang menyeluruh, yang menjelajahi isu yang dibahas dari segala sudut pandang dan menjabarkan seluruh kontradiksi yang tersembunyi, kita akan sampai pada kesimpulan (sintesis). Kita boleh sampai atau tidak sampai pada kesimpulan tapi, dengan diskusi, kita telah memperdalam pengetahuan dan pemahaman kita dan menempatkan keseluruhan diskusi dalam bidang pandang yang sama sekali berbeda.
Sangatlah jelas bahwa tidak satupun kritikus yang menyerang Marxisme pernah berepot-repot membaca sendiri karya-karya Marx dan Engels. Seringkali dianggap, contohnya, bahwa dialektika terdiri dari “tesis-antitesis-sintesis”, yang dianggap telah disalin Marx dari Hegel (yang dianggap menyalinnya dari Tritunggal Mahakudus) dan menerapkannya ke dalam masyarakat. Karikatur yang kekanak-kanakan ini masih terus diulangi oleh orang-orang yang semestinya dianggap intelektual sampai hari ini. Pada kenyataannya, bukan hanya dialektika Marx bertentangan dengan dialektika Hegel yang idealis, tapi dialektika Hegel itu sendiri sangat berbeda dengan filsafat Yunani klasik.
Plekhanov dengan tepat menyindir upaya untuk mereduksi struktur dialektika Hegelian pada “Tritunggal kayu” tesis-antitesis-sintesis. Dialektika Hegel yang maju itu mengandung hubungan yang kurang-lebih sama terhadap dialektika Yunani, seperti hubungan ilmu kimia modern terhadap penyelidikan primitif yang dilakukan oleh para ahli alkimia tempo dulu. Benar bahwa para ahli alkimia itu menyiapkan landasan bagi berkembangnya ilmu kimia secara umum, tapi pernyataan bahwa “keduanya pada dasarnya sama” adalah pernyataannya yang konyol, titik. Hegel kembali pada Heraclitus, tapi pada tingkatan kualitatif yang lebih tinggi, yang telah diperkaya oleh 2.500 tahun perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Perkembangan dialektika itu sendiri adalah proses yang dialektik.
Pada masa kini, kata “alkimia” digunakan sebagai sinonim dari sihir tipu-tipu. Ia mengumpulkan segala hal yang berhubungan dengan mantera dan black magic. Unsur-unsur ini memang hadir dalam sejarah alkimia, tapi aktivitas mereka tidaklah terbatas pada hal-hal ini saja. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, alkimia memainkan peran yang sangat penting. Alkimia adalah kata bahasa Arab, yang digunakan untuk segala jenis ilmu tentang material. Banyak di antara mereka memang penipu, tapi tidak sedikit pula yang merupakan ilmuwan-ilmuwan yang baik! Dan kata kimia adalah kosa kata Barat untuk hal yang sama. Banyak kosa kata dalam ilmu kimia berasal dari bahasa Arab – acid (asam), alkali (basa), alcohol, dst.
Para ahli alkimia berangkat dari proposisi bahwa mungkin bagi kita untuk mengubah satu unsur menjadi unsur yang lain. Mereka mencoba selama berabad-abad untuk menemukan “Batu filsuf”, yang mereka percaya akan memungkinkan mereka untuk mengubah logam dasar (timah) menjadi emas. Kalaupun mereka berhasil, tentunya mereka tetap tidak akan mendapat manfaat apa-apa dari situ, karena nilai emas akan langsung merosot senilai dengan timah! Tapi itu cerita lain. Kalau melihat tingkatan perkembangan teknik pada masa itu, para ahli alkimia nampaknya mencoba melakukan sesuatu yang mustahil. Pada akhirnya mereka dipaksa sampai pada kesimpulan bahwa pengubahan [transmutasi] unsur adalah hal yang mustahil. Walau demikian, upaya yang dilakukan para ahli alkimia bukanlah hal yang sia-sia. Dalam pengejaran mereka terhadap hipotesis yang tidak ilmiah itu, batu filsuf, mereka sebenarnya telah melakukan kerja-kerja kepeloporan, mengembangkan seni eksperimen, menciptakan berbagai peralatan yang masih terus digunakan dalam laboratorium-laboratorium masa kini dan merinci dan menganalisa berjenis-jenis reaksi kimia. Dengan cara ini, alkimia telah menyiapkan jalan bagi perkembangan ilmu kimia yang sejati.
Ilmu kimia modern mampu melangkah maju hanya setelah menyangkal hipotesis dasar para ahli alkimia – pengubahan unsur-unsur. Sejak akhir abad ke-18, ilmu kimia berkembang di atas landasan yang ilmiah. Dengan menyingkirkan tujuan-tujuan masa lalu yang penuh khayal itu, ia dapat melompat jauh ke depan. Kemudian, di tahun 1919, ilmuwan Inggris Rutherford melakukan satu percobaan dengan membombardemen inti atom nitrogen dengan partikel alpha. Hal ini mengakibatkan pecahnya inti atom, pertama kalinya hal seperti ini dibuat oleh manusia. Dengan cara itu, ia berhasil mengubah satu unsur (nitrogen) menjadi unsur lainnya (oksigen). Pencarian yang telah berlangsung ribuan tahun di tangan para ahli alkimia itu telah mencapai tujuannya, tapi dengan cara yang sama sekali tidak akan pernah mereka sanggup bayangkan!
Mari kita lihat proses ini lebih dekat lagi. Kita mulai dengan tesis: a) transmutasi unsur; ini kemudian dinegasi oleh antitesisnya b) kemustahilan untuk mengubah satu unsur menjadi unsur lain; yang kemudian digulingkan pula oleh negasi yang kedua c) transmutasi unsur-unsur. Di sini kita harus memperhatikan tiga hal. Pertama, tiap negasi menandai satu kemajuan yang pasti. Kedua, tiap kemajuan akan menegasi tahapan yang sebelumnya, bereaksi melawannya, sambil merawat segala hal yang berguna dan perlu dari tahapan yang dinegasinya. Terakhir, tahapan puncaknya – negasi dari negasi – sama sekali tidak menandai kembalinya kita pada ide awal (dalam hal ini, alkimia), tapi pemunculan kembali bentuk-bentuk awal itu dalam tingkat yang lebih tinggi secara kualitas. Kebetulan, kini mungkin bagi kita untuk mengubah timah menjadi emas, tapi prosesnya terlalu mahal sehingga orang tidak mau repot-repot lagi melakukan itu!
Dialektika menggambarkan proses-proses mendasar yang bekerja di alam raya, di tengah masyarakat dan dalam sejarah perkembangan pemikiran, bukan dalam lingkaran yang bulat, di mana proses-proses sekedar mengulangi diri mereka dalam siklus mekanik yang tanpa henti, tapi sebagai sejenis spiral perkembangan yang terbuka di mana tidak sesuatupun yang berulang persis dengan cara yang sama. Proses ini dapat terlihat dalam sejarah fislafat dan ilmu pengetahuan. Seluruh sejarah pemikiran mengandung proses perkembangan melalui kontradiksi yang tanpa putusnya.
Sebuah teori dikemukakan untuk menjelaskan gejala tertentu. Teori ini secara bertahap diterima orang, baik karena semakin banyaknya bukti yang membenarkannya, atau karena ketiadaan teori lain yang lebih memuaskan. Pada titik tertentu, penyimpangan dari data akan ditemukan, yang mulanya pasti diabaikan sebagai sekedar kesalahan pengukuran. Lalu satu teori baru akan muncul untuk mengkontradiksi teori lama dan untuk menjelaskan fakta-fakta dengan lebih baik. Pada akhirnya, setelah pergulatan yang panjang, teori baru itu akan menggulingkan teori lama yang telah menjadi ortodoks itu. Tapi, pertanyaan-pertanyaan baru akan terus muncul, yang pada gilirannya harus pula diselesaikan. Seringkali, nampaknya kita kembali pada ide-ide yang sebelumnya telah dibuktikan keliru. Tapi, hal ini tidaklah berarti kembali pada titik nol. Yang kita lihat di sini adalah proses yang dialektik, yang melibatkan pemahaman yang semakin dalam atas bekerjanya alam, masyarakat dan diri kita sendiri. Inilah dialektika sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan.
Joseph Dietzgen, seorang kawan Marx dan Engels, pernah berkata bahwa seorang tua yang merenungkan kembali seluruh hidupnya boleh jadi akan melihatnya sebagai serangkaian kesalahan yang, jika ia dapat memutar balik waktu, pastilah akan coba diperbaikinya. Tapi, kemudian ia akan terbentur pada kontradiksi dialektikal bahwa hanya melalui kesalahan-kesalahan itulah ia dapat sampai pada kebijaksanaan yang dimilikinya sekarang, yang membuat ia sanggup melihat dan mengakui perbuatan-perbuatan itu sebagai suatu kesalahan. Seperti yang telah diamati secara teliti oleh Hegel, telaah-diri yang dilakukan seorang muda tidak akan pernah memiliki bobot yang sama dengan yang dikemukakan oleh seorang yang pengalaman hidupnya telah menghasilkan isi dan makna yang tinggi. Keduanya dapat mengemukakan hal yang sama, tapi isi di dalamnya tidak sama. Apa yang di masa muda merupakan pemikiran yang abstrak, yang tidak ada atau sedikit isinya, kini adalah hasil dari sebuah refleksi yang matang.
Kejeniusan Hegel telah membawanya memahami sejarah berbagai aliran filsafat sebagai proses yang dialektik yang telah dialami oleh masing-masing pemikiran itu sendiri. Ia membandingkannya dengan kehidupan sebatang tanaman, yang melalui berbagai tahap, yaitu saling mengisi satu sama lain, tapi yang, dalam keseluruhannya, menyusun kehidupan tanaman itu sendiri:
“Semakin pikiran menganggap bahwa pertentangan antara benar dan salah adalah hal yang tetap, semakin ia terbiasa untuk mengharapkan atau persepakatan atau ketidaksepakatan dengan sistem filsafat tertentu, dan melihat bahwa salah pernyataan pembenar dalam salah satu sistem itu adalah benar. Ia tidak akan melihat berbagai sistem filsafat sebagai sekedar evolusi progresif atas kebenaran, ia hanya akan melihatnya sebagai kontradiksi antara varian-varian kebenaran. Kuncup akan runtuh ketika kelopak mekar, dan kita akan mengatakan bahwa kuncup itu ditolak oleh kelopak; dengan cara yang sama ketika buah muncul, kuncup dapat dilihat sebagai bentuk semu dari keberadaan tanaman tersebut, karena buah akan terlihat dalam watak sejatinya yang menggantikan kuncup. Tahapan-tahapan ini bukan saja berbeda satu-sama lain, mereka saling menggantikan karena yang satu tidaklah dapat hidup bersama yang lain. Tapi, aktivitas tanpa henti dari ciri inheren mereka, pada saat bersamaan, mengikat mereka semua menjadi satu kesatuan organik, di mana mereka bukan hanya saling mengkontradiksi satu sama lain, tapi di mana yang satu adalah sama pentingnya dengan yang lain; dan hanya keharusan yang setara sepanjang waktu inilah yang menjadikan dirinya sebagai satu kehidupan yang utuh.”[xxiii]

Dialektika dalam Capital

Dalam ketiga jilid Capital, Marx menyediakan satu contoh gemilang bagaimana metode dialektik dapat digunakan untuk menganalisa proses yang paling mendasar dalam masyarakat. Dengan melakukan itu, ia merevolusionerkan ilmu ekonomi-politik, satu fakta yang bahkan tidak berani dibantah oleh para ekonom yang paling bertentangan pandangannya sekalipun dengan Marx. Betapa mendasarnya metode dialektika bagi karya Marx sehingga Lenin memerlukan untuk mengatakan bahwa mustahillah memahami Capital, terutama bab-bab awalnya, tanpa terlebih dahulu membaca Logic-nya Hegel! Ini tentu sesuatu yang berlebihan. Tapi, apa yang dimaksud Lenin adalah fakta bahwa Capital-nya Marx itu sendiri adalah satu telaah-obyek yang monumental tentang bagaimana dialektika harusnya diterapkan.
“Jika Marx tidak meninggalkan satu “Logika” (dengan huruf besar), setidaknya ia mewariskan satu logika dari Capital, dan ini haruslah didayagunakan sepenuhnya dalam permasalahan ini. Dalam Capital, Marx menerapkan satu logika ilmiah tunggal, dialektika dan teori keilmuan materialisme [sebetulnya tidak membutuhkan tiga kata: ketiganya adalah hal yang satu dan sama] yang telah mengambil segala hal yang bermanfaat dari Hegel dan mengembangkannya lebih jauh.”[xxiv]
Metode apa yang digunakan Marx dalam Capital? Ia tidak memaksakan satu hukum dialektika terhadap ekonomi tapi menurunkannya dari telaah yang panjang dan berat atas segala aspek dari proses ekonomi. Ia tidak memajukan satu skema acak, baru kemudian berusaha mencocok-cocokkan fakta agar cocok dengan skema itu, melainkan berangkat dari upaya untuk mengungkapkan hukum-hukum gerak produksi kapitalis melalui penelitian yang teliti atas gejala-gejala itu sendiri. Dalam Preface to the Critique of Political Economy, Marx menjelaskan metode yang digunakannya:
“Saya telah meniadakan pengantar umum yang sebenarnya telah saya tulis karena dari refleksi lebih jauh, semua antisipasi terhadap hasil yang mungkin dicapai bukanlah hal yang seharusnya terjadi, dan para pembaca yang secara umum ingin mengikuti jejak saya harus bertekad untuk mengikuti saya dalam menelusuri jalan dari yang khusus ke yang umum.”[xxv]
Capital merupakan satu terobosan, bukan hanya dalam bidang ekonomi, tapi bagi ilmu sosial secara umum. Ia memiliki hubungan langsung dengan berbagai jenis diskusi yang sedang terjadi di kalangan para ilmuwan pada masa kini. Ketika Marx masih hidup, diskusi-diskusi ini telah dimulai. Pada masa itu, para ilmuwan masih terobsesi dengan ide tentang membedah segala hal dan memeriksanya rincian-rinciannya. Metode ini sekarang dikenal sebagai “reduksionisme”, sekalipun Marx dan Engels, yang sangat mengritik metode ini, menyebutnya sebagai “metode metafisik”. Para penganut mekanisme mendominasi dunia fisika selama 150 tahun. Baru sekarang reaksi melawan reduksionisme mendapatkan tenaganya. Satu generasi baru ilmuwan telah menyiapkan diri mereka untuk menghadapi tugas mengatasi warisan ini, dan untuk merumuskan prinsip-prinsip baru, sebagai pengganti pendekatan-pendekatan yang sudah kuno.
Kita harus berterima kasih pada Marx yang telah memukul mundur kecenderungan reduksionis dalam bidang ekonomi di pertengahan abad silam. Setelah Capital, pendekatan semacam itu tidak lagi terpikirkan. Metode a la “Robinson Crusoe” untuk menjelaskan ekonomi-politik (“bayangkan dua orang yang terdampar di pulau terpencil…”) kadang kala masih muncul dalam buku teks sekolah yang bermutu rendah dan upaya-upaya vulgar dalam mempopulerkan ekonomi-politik, tapi semua itu tidak lagi dapat dianggap serius. Krisis ekonomi dan revolusi tidak akan pernah terjadi di sebuah pulau yang hanya dihuni dua orang! Marx menganalisa perekonomian kapitalis, bukan sebagai jumlah-total dari tindakan pertukaran orang per orang, tapi sebagai sebuah sistem yang kompleks, yang didominasi oleh hukum-hukum internalnya, yang sama kuatnya dengan hukum-hukum alam. Dengan cara yang sama, para fisikawan kini mendiskusikan ide tentang kompleksitas, dalam makna sebuah sistem di mana yang keseluruhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagiannya. Tentu saja, sangatlah berguna untuk mengetahui, jika mungkin, hukum-hukum yang mengatur tiap bagian, tapi sistem yang kompleks akan diatur oleh hukum-hukum lain, yang bukan sekedar pengulangan dari hukum-hukum yang mengatur bagian per bagiannya. Persis inilah metode Capital-nya Marx – metode materialisme dialektik.
Marx memulai karyanya dengan satu telaah tentang unit dasar dari perekonomian kapitalis – komoditi. Dari sini ia melanjutkan dengan menjelaskan bagaimana semua kontradiksi dalam masyarakat kapitalis muncul. Reduksionisme memperlakukan segala hal sebagai keseluruhan dan sebagian, khusus dan umum, yang tidak saling cocok satu sama lain dan saling tidak berhubungan, padahal mereka tidak dapat saling dipisahkan, saling merasuki dan saling menentukan satu sama lain. Dalam jilid pertama Capital, Marx menjelaskan watak ganda dari komoditi, sebagai nilai-guna dan nilai-tukar. Kebanyakan orang melihat komoditi hanya sebagai nilai-guna, objek yang kongkrit dan berguna untuk memuaskan kebutuhan manusia. Nilai-guna selalu dihasilkan di sepanjang jaman, dalam tiap tipe masyarakat manusia.
Walau demikian, masyarakat kapitalis melakukan hal yang aneh pada nilai-guna. Ia mengubah nilai itu menjadi nilai-tukar – barang-barang yang diproduksi bukan untuk langsung dikonsumsi, melainkan untuk dijual. Tiap komoditi, dengan demikian, memiliki dua wajah – wajah nilai-guna yang akrab dan familiar, dan wajah nilai tukar yang misterius dan tersembunyi di balik kedok. Wajah yang pertama terhubung langsung dengan ciri-ciri fisik dari komoditi tertentu (kita mengenakan pakaian, meminum kopi, mengemudi kendaraan, dan lain-lain). Tapi nilai-tukar tidaklah terlihat, tidak dapat dipakai atau tidak dapat dimakan. Nilai ini tidak memiliki keberadaan material apapun. Walau demikian, ia adalah hakikat esensial dari komoditi di bawah kapitalisme. Pernyataan puncak dari nilai-tukar adalah uang, alat tukar universal. Semua komoditi menyatakan nilainya melalui ini. Potongan-potongan kertas hijau itu tidak memiliki hubungan apapun dengan pakaian, kopi atau mobil. Kita juga tak dapat memakannya, mengenakannya atau mengemudikannya. Tapi ada satu kekuatan yang mereka kandung, yang sungguh diakui secara universal, sehingga orang rela membunuh untuk mendapatkannya.
Watak ganda dari komoditi menyatakan kontradiksi sentral dari masyarakat kapitalis – konflik antara buruh-upahan dan kapital. Kaum buruh berpikir bahwa mereka menjual tenaganya pada para majikan, tapi, pada kenyataannya, mereka hanya menjual kemampuan kerja-nya, yang akan digunakan oleh para majikan seperti apa yang mereka maui. Nilai-lebih yang kemudian dihasilkan adalah hasil kerja kelas pekerja yang tidak dibayarkan kepada mereka, inilah sumber akumulasi kapital. Kerja yang tidak dibayar inilah yang membiayai anggota-anggota masyarakat yang tidak bekerja, melalui rente, bunga, keuntungan dan pajak. Perjuangan kelas sesungguhnya adalah perjuangan untuk menguasai pembagian nilai-lebih ini.
Marx tidak menciptakan istilah nilai-lebih, yang telah dikenal oleh para ekonom sebelumnya seperti Adam Smith dan David Ricardo. Tapi, dengan mengungkap kontradiksi sentral yang terkandung di dalamnya, ia telah merevolusionerkan ekonomi-politik. Penemuan ini dapat diperbandingkan dengan proses yang mirip dalam sejarah ilmu kimia. Sebelum akhir abad ke-18, orang menganggap bahwa hakikat dari semua pembakaran terkandung dalam pemisahan satu zat hipotesis yang disebut phlogiston dari zat yang terbakar. Teori ini digunakan untuk menjelaskan kebanyakan gejala kimiawi yang dikenal masa itu. Lalu, di tahun 1774, ilmuwan Inggris Joseph Priestly menemukan sesuatu yang disebutnya “udara yang telah dikeluarkan phlogiston-nya”, karena kemudian ditemukan bahwa phlogiston akan hilang dari udara jika satu zat dibakar di dalamnya.
Priestly telah, pada kenyataannya, menemukan oksigen. Tapi ia dan ilmuwan lain tidak sanggup menyadari implikasi revolusioner yang terkandung dalam penemuan ini. Kemudian, seorang ahli kimia Perancis Lavoisier menemukan bahwa jenis udara baru itu sesungguhnya adalah sebuah unsur kimia, yang tidak lenyap dalam sebuah proses pembakaran, tapi bergabung dengan zat yang dibakar. Sekalipun orang lain yang menemukan oksigen, mereka tidak tahu apa yang mereka temukan. Inilah penemuan besar Lavoisier. Marx memainkan peranan yang serupa dalam bidang ekonomi-politik.
Para pendahulu Marx telah menemukan keberadaan nilai-lebih, tapi watak sejatinya terus terbungkus dalam kabut. Dengan menghadapkan segala teori yang ada, dimulai dari teorinya Ricardo, dengan telaah yang teliti dan kritis, Marx dapat menemukan watak sejati yang kontradiktif dari nilai-lebih. Ia menyelidiki seluruh hubungan dalam masyarakat kapitalis, dimulai dari bentuk produksi dan pertukaran komoditi yang paling sederhana, dan mengikuti proses itu melalui berbagai jenis perubahannya, dengan menggunakan metode dialektika yang ketat.
Marx menunjukkan hubungan antara komoditi dan uang, dan menjadi orang pertama yang melakukan analisis yang luas tentang uang. Ia menunjukkan bagaimana uang diubah menjadi kapital, menunjukkan bagaimana perubahan ini dihasilkan melalui pembelian dan penjualan kemampuan kerja. Pembedaan yang mendasar antara kerja dan kemampuan kerja adalah kunci yang telah menyingkap misteri nilai-lebih, satu masalah yang tidak berhasil diselesaikan oleh Ricardo. Dengan menegaskan perbedaan antara kapital konstan dan variabel, Marx sanggup menelusuri seluruh proses pembentukan kapital secara rinci, dan menjelaskannya, satu hal yang tidak sanggup dilakukan satupun pendahulunya.
Metode Marx seluruhnya dialektik, dan mengikuti jalinan yang digariskan oleh Logic-nya Hegel dengan cukup ketat. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam Catatan Susulan terhadap Edisi Kedua dalam Bahasa Jerman, di mana Marx memberi penghargaan yang tinggi kepada Hegel:
“Walaupun sang penulis menggambarkan apa yang dianggapnya adalah murni pemikiran saya, dalam cara yang tegas dan (sejauh menyangkut penerapan saya akan hal ini) murah hati ini, apa lagi yang sedang ia gambarkan melainkan metode dialektika?
“Tentu saja metode penyajiannya harus berbeda dalam bentuknya dari sekedar inkuisisi. Kalau bentuk itu yang dipakai, maka penyajiannya harus menyajikan material secara detil dengan menganalisa berbagai bentuk perkembangan, dengan menelusuri hubungan-hubungan internalnya. Hanya jika tugas-tugas ini telah dilakukan, pergerakan nyata yang terjadi dapat digambarkan dengan baik. Jika tugas ini dilakukan dengan berhasil, jika kehidupan materi-subjek tercerminkan dengan ideal seperti halnya bayangan cermin, maka mungkin akan terlihat bahwa apa yang kami lakukan hanyalah sekedar konstruksi a priori….
“Sisi yang mistik dari dialektika Hegelian telah saya kritisi hampir tiga puluh tahun lalu, pada waktu ia masih menjadi mode. Tapi ketika saya baru mulai mengerjakan jilid pertama Das Kapital, kaum ????????, yang sombong, rewel dan pas-pasan itu, sedang bersenang-senang memperlakukan Hegel dengan cara yang mirip dengan apa yang dilakukan Moses Mendelssohn memperlakukan Spinoza pada masa Lessing, yaitu sebagai “barang kuno yang tak lagi berguna”. Maka itu, dengan ini saya menyatakan diri secara terbuka sebagai murid dari pemikir besar itu, dan bahkan di sana-sini, dalam bab tentang nilai, masih terus menggunakan metode pernyataan yang diciptakannya. Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel, sama sekali tidak membuatnya gagal menjadi orang yang pertama berhasil menyajikannya dalam bentuk fungsi umum yang komprehensif dan sadar. Pada Hegel, dialektika berdiri terjungkir di atas kepalanya. Ia harus dibalikkan ke kakinya lagi, jika Anda ingin menemukan mutiara yang ada di balik cangkang mistik itu.
“Dalam bentuknya yang mistis, dialektika menjadi mode di Jerman, karena ia nampak memberi bentuk baru dan memuliakan kondisi-kondisi yang ada dari segala hal. Dalam bentuknya yang rasional ia adalah satu skandal dan kutukan bagi keborjuisan dan para pendukungnya yang doktriner, karena di dalamnya terkandung satu pemahaman dan pengakuan afirmatif terhadap berbagai hal yang ada, dan sekaligus pada saat bersamaan, keniscayaan akan penghancurannya; karena ia memandang segala bentuk sosial yang berkembang dalam sejarah sebagai pergerakan yang fluid, dan dengan demikian memperhitungkan pula wataknya yang sementara, tidak kurang dari keberadaannya yang fana; karena ia tidak membiarkan sesuatupun mengatasinya, dan dalam hakikatnya berwatak kritis dan revolusioner.”[xxvi]

[i] Trotsky, In Defense of Marxism, p. 66.
[ii] Marx, Capital, Vol. 1, p. 19.
[iii] David Bohm, Causality and Chance in Modern Physics, p. 1.
[iv] R. P. Feynman, Lectures on Physics, bab 1, p. 8.
[v] Aristoteles, op. cit., p. 9.
[vi] Engels, Dialectics of Nature, p. 92.
[vii] Trotsky, op. cit., pp. 106-7.
[viii] M. Waldrop, Complexity, p. 82.
[ix] Engels, Dialectics of Nature, pp. 90-1.
[x] Engels, Anti-Dühring, p. 162.
[xi] J. Gleick, Chaos, Making a New Science, p. 127.
[xii] M. Waldrop, op. cit., p. 65.
[xiii] D. Bohm, op. cit., p. x.
[xiv] Engels, Anti-Dühring, p. 163.
[xv] I. Stewart, Does God Play Dice?, p. 22.
[xvi] Feynman, op. cit., bab 2, p. 5.
[xvii] Engels, Dialectics of Nature, pp. 345-6.
[xviii] Hegel, Science of Logic, Vol. 1, p. 258
[xix] B. Hoffmann, The Strange Story of Kuantum, p. 159.
[xx] Engels, Dialectics of Nature, p. 96.
[xxi] Ibid., pp. 95-6 dan p. 110.
[xxii] Ibid., p. 108 dan p. 107.
[xxiii] Hegel, Phenomenology of the Mind, p. 68.
[xxiv] Lenin, Collected Works, Vol. 38, p. 502; selanjutnya dirujuk sebagai LCW.
[xxv] Marx dan Engels, Selected Works, Vol. 1, p. 502; selanjutnya dirujuk sebagai MESW.
[xxvi] Marx, Capital, Vol. 1, pp. 19-20.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Perspektif - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger