Reason in Revolt: Pengantar - Perspektif
Headlines News :
Home » » Reason in Revolt: Pengantar

Reason in Revolt: Pengantar

Written By DPTK sepetak on Senin, 27 Desember 2010 | 09.36

By Alan Woods and Ted Grant
Monday, 03 September 2007
Kita kini hidup dalam masa-masa perubahan sejarah yang mendasar.
Setelah masa 40 tahun perkembangan ekonomi yang gila-gilaan, ekonomi pasar tengah mencapai batas-batasnya. Ketika fajar kapitalisme menyingsing, walaupun ia membawa serta kejahatan-kejahatannya yang biadab, ia merevolusionerkan kekuatan produktif dan, dengan demikian, meletakkan basis bagi satu sistem masyarakat yang baru. Perang Dunia I dan Revolusi Rusia menandai satu perubahan yang menentukan dalam peran kesejarahan kapitalisme. Ia beralih peran dari satu alat untuk mengembangkan kekuatan produktif menjadi satu belenggu raksasa yang menjepit perkembangan ekonomi dan sosial. Periode pasang naik di Barat pada masa-masa 1948-73 kelihatannya menjanjikan satu fajar baru. Walau demikian, keuntungan-keuntungan dari masa-masa ini terus saja diraup oleh segelintir negeri kapitalis maju. Bagi dua pertiga umat manusia yang hidup di Dunia Ketiga, kenyataan yang dihadapi  adalah pengangguran massal, kemiskinan, perang dan penghisapan yang terjadi dalam skala yang sama gila-gilaannya dengan tingkat keuntungan yang diraih. Periode pasang naik kapitalisme ditamatkan bersamaan dengan apa yang dikenal sebagai “krisis minyak” di tahun 1973-74. Sejak itu, kapitalisme tidak lagi sanggup mencapai tingkat pertumbuhan dan tingkat penyediaan lapangan kerja seperti yang pernah mereka capai di masa-masa sesudah perang.
Sebuah sistem sosial yang berada dalam kejatuhan yang tak tertahankan seperti itu akan selalu menampilkan satu pembusukan budaya. Hal ini tercermin dalam ratusan cara. Satu keresahan dan pesimisme akan masa depan menyebar seperti kanker, khususnya di kalangan intelektual. Mereka yang kemarin masih bicara tentang keniscayaan kemajuan dan evolusi umat manusia, kini hanya dapat merenungi kegelapan dan ketidakpastian. Abad ke-20 kini tertatih-tatih menggapai ujungnya, setelah menyaksikan dua perang dunia yang mengerikan, kejatuhan demi kejatuhan dalam bidang ekonomi dan mimpi buruk fasisme dalam masa-masa antara kedua perang dunia itu. Ini saja sebetulnya sudah merupakan satu peringatan keras bahwa tahapan progresif dari kapitalisme telah usai.
Krisis kapitalisme masuk dalam segala aspek kehidupan. Krisis ini bukanlah sekedar gejala ekonomis. Ia juga tercermin dalam spekulasi dan korupsi, penyalahgunaan obat-obatan, kekerasan, diagung-agungkannya egoisme dan ketidakpedulian terhadap kesengsaraan sesama, runtuhnya kelembagaan keluarga borjuis, krisis moralitas, budaya dan filsafat borjuis. Bagaimana mungkin ada jalan lain bagi mereka? Salah satu gejala yang menunjukkan bahwa sebuah sistem sosial sedang berada dalam krisis adalah bahwa kelas penguasa semakin merasa bahwa dirinyalah yang menjadi belenggu bagi perkembangan masyarakat.
Marx menunjukkan bahwa ide-ide yang dominan tentang masyarakat adalah ide-ide kelas penguasa. Di masa jayanya, kaum borjuasi tidak hanya memainkan peran progresif dalam membuat patok-patok baru bagi perkembangan peradaban, melainkan juga sadar bahwa dirinyalah yang memainkan peranan itu. Kini para ahli strategi kapitalis terserang pesismisme. Mereka adalah wakil-wakil dari sistem yang sudah ditakdirkan hancur, tapi mereka gagal berdamai dengan fakta itu. Kontradiksi sentral ini adalah faktor yang menentukan, yang menerakan kehadirannya dalam cara berpikir kaum borjuasi saat ini. Lenin pernah berkata bahwa orang-orang yang berada di pinggir jurang tidak akan dapat menjadi orang yang memakai nalarnya secara tepat.

Senjang dalam Kesadaran

Berlawanan dengan prasangka filsafat idealisme, kesadaran manusia secara umum sebenarnya luar biasa konservatif, dan selalu cenderung tertinggal dari perkembangan masyarakat, teknologi dan kekuatan produktif. Kebiasaan, rutinitas dan tradisi, seperti kata Marx, merupakan beban seberat gunung Alpen di benak laki-laki dan perempuan, yang, pada masa-masa kesejarahan “normal” berpegang erat-erat pada jalur-jalur yang biasa dilalui, sebagai akibat naluri mempertahankan diri, yang akarnya terletak pada mekanisme evolusi spesies itu sendiri. Hanya dalam masa-masa khusus dalam sejarah, ketika tatanan moral dan sosial mulai retak karena tekanan yang tak terpanggulkan, massa rakyat mulai mempertanyakan dunia yang mereka huni, dan juga meragukan keyakinan dan prasangka-prasangka yang telah mereka percayai sepanjang hidup mereka.
Masa-masa semacam itu, salah satunya, adalah masa-masa kelahiran kapitalisme, yang ditandai oleh kejayaan kebangkitan budaya dan pembaharuan spiritual di Eropa setelah tidur musim dingin yang panjang di bawah feudalisme. Dalam masa-masa pasang naiknya, kaum borjuasi memainkan peranan yang paling progresif, bukan hanya dalam pengembangan kekuatan produktif, dan dengan demikian meluaskan kedigdayaan manusia atas alam, tapi juga dalam meluaskan batas-batas ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Luther, Michelangelo, Leonardo, Dührer, Bacon, Kepler, Galileo dan serombongan perintis peradaban lainnya, bergemerlapan laksana sebuah galaksi yang menerangi jalan bebas hambatan bagi kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan yang gerbangnya dibuka oleh Reformasi Protestan dan Jaman Pencerahan. Walau demikian, masa-masa revolusioner semacam itu tidaklah datang dari langit. Harga yang harus dibayar untuk kemajuan itu adalah perjuangan – perjuangan dari yang baru melawan yang lama, yang hidup melawan yang mati, yang di masa depan melawan yang di masa lalu.
Kebangkitan kaum borjuasi di Itali, Belanda, Inggris, dan kemudian di Perancis diiringi oleh sebuah perkembangan yang luar biasa atas kebudayaan, kesenian dan ilmu pengetahuan. Kita perlu menengok ke belakang, ke kaum Athena Kuno, untuk melihat perkembangan peradaban yang sanggup menyaingi perkembangan ini. Khususnya di negeri-negeri di mana revolusi borjuis mencapai kemenangannya di abad ke-17 dan 18, perkembangan kekuatan produktif dan teknologi diiringi oleh satu perkembangan ilmu dan pemikiran yang sejajar, yang secara drastis menggerogoti dominasi ideologi Gereja.
Di Perancis, negeri yang menjadi klasik dalam kancah ekspresi politik dari revolusi borjuis, kaum borjuasi di tahun 1789-93 melancarkan revolusinya di bawah bendera Nalar. Jauh sebelum mereka meruntuhkan tembok penjara Bastille, sangatlah perlu untuk terlebih dahulu meruntuhkan tembok-tembok kokoh tahyul mistik di dalam benak kaum laki-laki dan perempuan. Di masa mudanya yang revolusioner, kaum borjuasi Perancis berwatak rasional dan ateis. Baru setelah mereka mendudukkan diri di tampuk kekuasaan mereka beralih menjadi orang-orang yang memuja kepemilikan. Dan setelah mereka berhadapan dengan kelas baru yang revolusioner mereka membuang segala kepercayaan ideologis mereka di masa lalunya.
Belum lama berselang Perancis memperingati dua ratus tahun Revolusinya yang jaya. Sangat jelas terlihat bahwa bahkan sekedar ingatan tentang sebuah revolusi yang berlangsung dua ratus tahun yang lalu sanggup membuat kelas penguasa merasa tidak nyaman. Sikap yang diambil oleh kelas penguasa Perancis terhadap revolusinya sendiri dengan jelas mengingatkan kita terhadap sikap seorang bejat yang berusaha menyangkal dosa-dosa masa mudanya ketika ia sudah berada dalam posisi yang tidak memungkinkannya mengulangi lagi tindakan-tindakan masa lalunya itu. Seperti semua kelas penguasa teristimewakan lainnya, kelas kapitalis berusaha untuk membenarkan keberadaannya, bukan hanya terhadap masyarakat secara luas, tapi juga terhadap dirinya sendiri. Dalam pencariannya atas dukungan dari sisi ideologis, yang akan cenderung membenarkan status quodan mengeramatkan hubungan sosial yang ada, mereka dengan cepat jatuh kembali ke pangkuan Ibu Gereja, terutama setelah ancaman maut yang mereka alami pada masa Komune Paris. Gereja Sacré Coeur adalah satu ekspresi kongkrit akan ketakutan kaum borjuis akan revolusi, yang diterjemahkan dengan tepat dalam bahasa arsitektural yang terbelakang.
Marx (1818-83) dan Engels (1820-95) menjelaskan bahwa tenaga penggerak utama dari seluruh kemajuan yang dicapai manusia adalah perkembangan dari kekuatan produktif – industri, pertanian, ilmu pengetahuan dan teknik. Ini adalah satu generalisasi yang benar-benar dahsyat, yang tanpanya mustahillah kita memahami pergerakan kesejarahan umat manusia secara umum. Walau demikian, tidaklah otomatis hal ini bermakna, seperti yang coba ditunjukkan oleh para penentang Marxisme yang tidak jujur dan naif, bahwa Marx “mereduksi segalanya menjadi persoalan ekonomis.” Materialisme yang dialektik dan historis memperhitungkan sepenuhnya gejala-gejala seperti agama, seni, ilmu pengetahuan, moralitas, hukum, politik, tradisi, karakter nasional dan berbagai perwujudan dari kesadaran manusia. Tapi bukan hanya itu. Marxisme juga menunjukkan hakikat dari gejala-gejala itu dan bagaimana mereka terhubung dengan perkembangan nyata dari masyarakat, yang pada ujung analisisnya jelas tergantung pada kemampuannya untuk mereproduksi dan mengembangkan kondisi material untuk mempertahankan keberadaannya. Tentang hal ini, Engels menulis:
“Menurut pandangan materialis terhadap sejarah, penentu akhir dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi dari kehidupan keseharian. Yang lebih dari ini, baik Marx maupun saya, tidaklah sepakat. Dengan demikian, jika seseorang memutarbalikkan hal ini dengan menyatakan bahwa unsur ekonomi adalah unsur penentu satu-satunya, ia mengubah posisi ini menjadi satu frasa yang tidak bermakna, abstrak, dan tidak masuk nalar. Situasi ekonomi adalah basis, tapi berbagai unsur dalam superstruktur – bentuk-bentuk politik dari perjuangan kelas dan hasil-hasilnya, akan mencerminkannya: konstitusi yang disusun oleh kelas yang berkuasa setelah menang dalam perjuangan kelas, dsb., bentuk-bentuk peradilan, dan berbagai pemikiran yang timbul di benak para pelaku perjuangan kelas ini secara politik, aturan hukum, teori filosofis, pandangan religius, dan pengembangan pemikiran-pemikiran ini lebih lanjut ke dalam dogma-dogma. Semua ini menunjukkan pengaruh mereka ke dalam perjuangan kesejarahan, dan dalam berbagai kasus merupakan faktor dominan dalam menentukan bentuk perjuangan yang diambil.”[i]
Pembuktian dari materialisme historis bahwa, secara umum, kesadaran manusia cenderung tertinggal dari perkembangan kekuatan produktif akan terlihat sebagai paradoks untuk  beberapa orang. Tapi justru hal itu ternyatakan dalam berbagai macam cara di Amerika Serikat di mana pencapaian ilmu pengetahuan telah mencapai puncaknya. Kemajuan konstan dari teknologi adalah kondisi yang mendahului datangnya satu sistem sosio-ekonomik yang rasional, di mana umat manusia menjalankan kontrol secara sadar atas hidup dan lingkungan mereka. Di sini, walau demikian, kontras antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dengan ketertinggalan yang tajam dalam pemikiran manusia terlihat dengan sangat jelas.
Di Amerika Serikat, sembilan dari sepuluh orang percaya akan keberadaan satu Yang Maha Tinggi, dan tujuh dari sepuluh percaya akan kehidupan sesudah kematian. Ketika astronot Amerika pertama, yang berhasil mengelilingi dunia dalam pesawat luar angkasa, diminta untuk mengirimkan pesan pada para penghuni bumi, ia membuat satu pilihan yang sangat bermakna. Dari semua literatur yang ada di dunia, ia memilih kalimat dari Kitab Kejadian: “Pada mulanya, Tuhan menciptakan langit dan bumi.” Orang ini, yang duduk dalam pesawat antariksanya, satu produk dari teknologi yang termaju di masa itu, benaknya dipenuhi dengan berbagai tahyul dan hantu yang diwariskan tanpa perubahan berarti sejak masa prasejarah.
Tujuh puluh tahun yang lalu, dalam sebuah “pengadilan boneka” yang terkenal di tahun 1975, seorang guru yang bernama John Scope divonis bersalah karena mengajarkan teori evolusi, yang bertentangan dengan undang-undang negara bagian Tennessee. Pengadilan ini merupakan satu penegakan atas undang-undang anti-evolusi di negara bagian tersebut, yang tidak dihapuskan sampai tahun 1968, ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat menetapkan bahwa pengajaran teori penciptaan adalah satu pelanggaran atas larangan konstitusional terhadap pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Sejak itu, kaum kreasionis [pembela teori penciptaan, pen.] mengubah taktik mereka, mencoba mengubah kreasionisme menjadi sebuah “ilmu”. Dalam upaya ini, mereka mendapat dukungan, bukan hanya dari lapisan luas pendapat publik, tapi juga dari tidak sedikit ilmuwan, yang siap untuk meluangkan tenaganya untuk membela agama dalam ajarannya yang telah terbukti tidak sesuai dengan penyelidikan-penyelidikan ilmiah.
Di tahun 1981 para ilmuwan Amerika, dengan menggunakan hukum Kepler tentang pergerakan planet, meluncurkan satu pesawat antariksa yang akan membuat perlintasan spektakuler dengan orbit Saturnus. Di tahun yang sama, seorang hakim Amerika harus menyatakan bahwa hukum di negara bagian Arkansas, yang menyatakan bahwa “ilmu kreasionis” harus diperlakukan setara dengan teori evolusi, adalah inkonstitusional. Di antaranya, kaum kreasionis menuntut bahwa banjir yang dialami Nuh harus diakui sebagai unsur pembentuk bumi yang utama. Dalam proses peradilannya, para saksi yang membela kaum kreasionis menyatakan kepercayaan mereka yang mutlak akan adanya Setan dan kemungkinan bahwa kehidupan dibawa ke bumi melalui meteorit, dan bahwa adanya berbagai jenis spesies di bumi ini adalah hasil dari semacam jasa antaran meteorit! Dalam peradilan itu, Mr. N.K. Wickremasinge dari University of Wales tercatat menyatakan bahwa serangga mungkin lebih cerdas dari manusia, sekalipun “mereka tidak meneruskannya… karena segala sesuatu telah berlangsung begitu cocok untuk mereka.”[ii]
Lobi dari kaum fundamentalis agama di Amerika Serikat mendapatkan dukungan yang luas, akses pada sumber dana yang tak terbatas, dan dukungan dari anggota-anggota kongres. Para pengkotbah komersial di televisi meraup jutaan dolar dari acara-acara mereka yang ditonton oleh jutaan orang. Fakta bahwa, di penghujung abad ke-20, di negeri yang paling maju secara teknologi, masih terdapat banyak orang, laki-laki dan perempuan yang berpendidikan tinggi, yang bersedia untuk berjuang mempertahankan bahwa apa yang tertulis dalam Kitab Kejadian adalah sungguh terjadi secara kenyataan, bahwa dunia ini diciptakan dalam enam hari, sekitar 6000 tahun lalu. Hal ini, sesungguhnya, mengandung salah satu contoh dari bekerjanya dialektika itu sendiri.

“Nalar Menjadi Anti-Nalar”

Masa di mana kelas kapitalis memihak pada cara pandang yang rasional atas dunia tinggallah kenangan. Dalam epos pembusukan kapitalisme, proses yang semula dijalani kini dijalankan ke arah kebalikannya. Mengutip Hegel, ini adalah “Nalar menjadi Anti-Nalar”. Benar bahwa, di negeri-negeri industri maju, agama “resmi” telah membeku. Gereja-gereja tidak lagi didatangi orang yang bersembahyang, dan semakin jatuh ke dalam krisis. Sebagai gantinya, kita melihat satu “wabah Mesir”, bertumbuhnya sekte-sekte keagamaan yang aneh-aneh, yang diiringi dengan berkembangnya berbagai jenis ajaran mistis dan segala macam tahyul. Wabah fundamentalisme agama yang mengerikan – Kristen, Yahudi, Islam, Hindu – adalah satu perwujudan dari kemandegan yang dialami masyarakat. Sejalan dengan semakin mendekatnya abad baru, kita dapat mengamati kemunduran yang dahsyat dari masyarakat, kembali ke Abad Kegelapan.
Gejala ini tidak hanya terjadi di Iran, India atau Aljazair. Di Amerika Serikat kita melihat “pembantaian Waco”, dan setelah itu, di Swiss, bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekelompok orang fanatik beragama lainnya. Di lain-lain negeri barat, kita melihat penyebaran tak terkendali dari berbagai sekte keagamaan, tahyul, astrologi dan segala macam kecenderungan irasional. Di Perancis, terdapat sekitar 36.000 pastor Katolik, dan sekitar 40.000 astrolog profesional yang tercatat sebagai subyek kena pajak. Sampai baru-baru-ini, Jepang nampak sebagai pengecualian terhadap kecenderungan ini. William Rees-Moff, mantan editor dari harian Times di London, dan seorang Konservatif tulen, dalam buku barunya, The Great Reckoning, How the World Will Change in the Depression of the 1990s, menyatakan bahwa: “Bangkitnya kembali agama adalah sesuatu yang sedang terjadi di seluruh dunia, dengan berbagai tingkatannya. Jepang mungkin merupakan pengecualian, mungkin karena tatanan sosial belumlah menunjukkan tanda-tanda keretakan di sana….”[iii]Rees-Mogg berbicara terlalu lekas. Dua tahun setelah kalimat itu dituliskan, serangan gas yang mengerikan di jalur kereta bawah tanah Tokyo menarik perhatian dunia akan keberadaan satu kelompok keagamaan fanatik yang cukup besar, di mana krisis ekonomi telah menamatkan masa-masa keemasan tanpa pengangguran dan ketidakstabilan sosial. Semua gejala ini mengandung satu kemiripan yang luar biasa dengan apa yang terjadi di masa-masa setelah semakin memudarnya pengaruh kekaisaran Roma. Jangan juga ada yang membantah bahwa gejala ini hanya terbatas pada rakyat jelata. Ronald dan Nancy Reagan secara teratur berkonsultasi dengan para astrolog mengenai tindakan-tindakan mereka, baik yang besar maupun yang kecil. Di bawah ini adalah kutipan dari buku Donald Regan, For the Record:
“Hampir setiap pergerakan dan keputusan besar yang diambil Reagan selama masa saya menjabat sebagai kepala staf Gedung Putih terlebih dahulu diperbincangkan dengan seorang perempuan di San Fransisco yang melihat horoskop untuk memastikan bahwa semua planet terletak dalam posisi yang menguntungkan untuk mendukung keberhasilan keputusan tersebut. Nancy Reagan kelihatannya memiliki kepercayaan mutlak kepada kekuatan supernatural dari perempuan ini, yang telah meramalkan bahwa “sesuatu” yang buruk akan terjadi pada presiden beberapa waktu menjelang percobaan pembunuhan terhadapnya di tahun 1981.
“Sekalipun saya belum pernah bertemu muka dengan peramal ini – Ny. Reagan selalu menyampaikan hasil peramalannya setelah ia berkonsultasi dengan peramal itu melalui telepon – perempuan itu telah menjadi faktor yang demikian khusus bagi kerja-kerja saya, dan dalam urusan-urusan negara yang tertinggi, saya menyimpan satu kalender yang diberi kode berwarna (hari “baik” dengan warna hijau, hari “buruk” dengan warna merah, dan hari “yang tidak jelas” dengan warna kuning) sebagai pegangan untuk menjadwalkan perjalanan presiden Amerika Serikat dari satu tempat ke tempat yang lain, atau untuk menjadwalkan pidatonya, atau menjadwalkan negosiasi dengan pemerintah-pemerintah asing.
“Sebelum saya tiba di Gedung Putih, Mike Deaver telah menjadi orang yang mengintegrasikan horoskop Ny. Reagan ke dalam jadwal kepresidenan…. Hasil dari kerahasiaan dan loyalitasnyalah sehingga hanya sedikit orang di Gedung Putih yang tahu bahwa Ny. Reagan adalah bagian dari problem mereka [ketika menunggu jadwal] – lebih sedikit lagi yang tahu bahwa seorang peramal di San Fransisco adalah penentu sejati dari jadwal kepresidenan. Deaver memberitahu saya bahwa ketergantungan Ny. Reagan terhadap kultus ini sudah berjalan lama, sejak suaminya masih menjadi Gubernur Negara Bagian, ketika itu ia menyandarkan diri pada peramalan dari Jeane Dixon yang terkenal itu. Belakangan ia kehilangan kepercayaan pada kekuatan ramalan Dixon. Tapi Ibu Negara kelihatannya memiliki kepercayaan mutlak pada bakat supranatural dari perempuan di San Fransisco itu. Dan kelihatannya Deaver telah berhenti berpikir bahwa ada sesuatu yang istimewa dalam garis komando yang mengambang ini…. Baginya hal itu hanyalah satu masalah kecil dalam kehidupan seorang hamba dari seorang besar. ‘Setidaknya,’ katanya, ‘peramal yang ini tidaklah seaneh yang terdahulu.’”
Astrologi digunakan untuk merencanakan pertemuan puncak antara Reagan dan Gorbachev, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh peramal keluarga istana, tapi tidak semua hal berjalan mulus antara kedua Ibu Negara karena hari lahir Raisa Gorbachev tidaklah diketahui! Pergerakan ke arah “ekonomi pasar bebas” di Rusia sejak itu telah menebarkan berkah peradaban kapitalis di negeri sial itu – pengangguran massal, disintegrasi sosial, pelacuran, mafia, tingkat kejahatan yang mencapai rekornya, penyalahgunaan obat-obatan dan agama. Baru-baru ini baru diketahui bahwa Yeltsin sendiri juga berkonsultasi dengan para astrolog. Dalam hal ini juga, kelas kapitalis yang baru lahir di Rusia telah menunjukkan dirinya sebagai murid-murid yang setia dari para guru mereka di Barat.
Rasa kehilangan arah dan pesimisme menemukan cerminannya dalam segala macam cara, tidak harus selalu dalam bidang politik. Irasionalitas yang mendominasi ini bukanlah satu kebetulan belaka. Semua itu adalah cerminan psikologis atas satu dunia di mana nasib umat manusia dikendalikan oleh satu kekuatan yang mengerikan dan nampaknya tak dapat terpecahkan. Lihatlah apa yang terjadi ketika kepanikan melanda bursa saham, di mana orang-orang “terhormat” berlari-lari seperti apa yang dilakukan semut ketika sarangnya dibongkar paksa. Kejang-kejang ekonomi periodik yang menggebah terjadinya kepanikan ini adalah satu penggambaran yang amat jelas mengenai anarki di dalam sistem kapitalisme. Dan anarki inilah yang menentukan hidup dari jutaan manusia. Kita kini hidup dalam sebuah masyarakat yang sedang terjun ke dalam jurang. Bukti-bukti pembusukan itu terjadi di mana-mana. Kaum reaksioner konservatif berkeluh-kesah tentang runtuhnya nilai-nilai keluarga dan wabah penyalahgunaan obat, kejahatan, kekerasan yang biadab, dan lain-lain. Jawaban satu-satunya yang dapat mereka berikan adalah dengan meningkatkan penindasan negara – lebih banyak polisi, lebih banyak penjara, jenis-jenis penghukuman yang lebih keras, bahkan satu penyelidikan genetik terhadap apa yang digembar-gemborkan sebagai “tipe-tipe kriminal”. Apa yang tidak dapat dan tidak mau mereka lihat adalah bahwa gejala-gejala ini hanyalah indikasi dari jalan buntu yang dihadapi oleh sistem sosial yang mereka bela.
Mereka adalah pula para pembela “kekuatan pasar”, kekuatan irasional yang kini telah memenjarakan jutaan orang ke dalam pengangguran. Mereka adalah juga para pengkotbah perekonomian “sisi suplai”, yang didefinisikan secara cerdas oleh John Galbraith sebagai teori bahwa kaum miskin memiliki terlalu banyak uang dan kaum kaya memiliki terlalu sedikit. Maka, “moralitas” yang berlaku sekarang ini adalah moralitas pasar, yakni, moralitas rimba. Kemakmuran masyarakat semakin terkumpul di segelintir tangan, yang juga jumlahnya semakin menyusut, sekalipun kita terus mendengar propaganda tak masuk nalar tentang “demokrasi kepemilikan” dan “yang kecil itu indah”. Kita seharusnya kini sedang hidup di tengah demokrasi. Tapi segelintir bank besar, monopoli dan para spekulan bursa saham (biasanya orangnya itu-itu juga) adalah penentu nasib jutaan orang lainnya. Minoritas mini ini menguasai alat-alat yang dahsyat untuk memanipulasi pendapat publik. Mereka menguasai monopoli atas alat komunikasi, pers, radio dan televisi. Lalu masih ada lagi para polisi spiritual – gereja, yang selama puluhan generasi telah mengajar orang untuk mencari keselamatan di langit.

Ilmu Pengetahuan dan Krisis Masyarakat

Sampai beberapa waktu berselang, kelihatannya dunia ilmu berdiri di luar pembusukan umum yang tengah berlangsung di dunia kapitalisme. Keajaiban teknologi modern membawa segunung prestise bagi para ilmuwan, yang membuat mereka seakan-akan sanggup menciptakan sihir. Penghormatan yang diterima oleh komunitas ilmuwan semakin meningkat seiring dengan semakin tidak dapat dipahaminya teori-teori mereka, bahkan oleh mayoritas orang terdidik. Walau demikian, para ilmuwan itu tetaplah mahluk-mahluk fana, yang hidup di dunia yang sama dengan kita. Dengan begitu, mereka tetap dapat terpengaruh oleh ide-ide yang berlaku di masyarakat, filsafat, politik dan prasangka-prasangka, bahkan juga kadang-kadang kebutuhan materi yang jumlahnya tidak sedikit.
Untuk waktu yang cukup lama orang dengan diam-diam beranggapan bahwa kaum ilmuwan – khususnya para ilmuwan fisika teoritik – adalah jenis manusia yang unik, yang berdiri di luar persoalan-persoalan kemanusiaan sehari-hari, dan dianugerahi keistimewaan agar dapat mengorek misteri alam semesta yang tidak terjangkau oleh mahluk-mahluk fana lainnya. Mitos abad ke-20 ini dengan baik dipanggul oleh film-film fiksi-ilmiah, di mana bumi selalu berada di bawah ancaman bahaya pemusnahan oleh mahluk-mahluk dari planet asing (pada kenyataannya, ancaman terhadap masa depan umat manusia datang dari sumber yang sangat dekat dengan kita di bumi ini, tapi itu cerita yang lain). Ketika cerita sudah hampir tamat, selalu datang seorang berjubah putih, ia menulis rumus-rumus yang rumit di papan tulis, dan masalah yang dihadapi pun selesai seketika itu juga.
Hal yang sesungguhnya terjadi agak berbeda dari jalan cerita klasik itu. Para ilmuwan dan para intelektual lainnya tidaklah kebal dari kecenderungan umum yang bekerja di tengah masyarakat. Fakta bahwa kebanyakan dari mereka tidaklah mengambil kepedulian dalam politik dan filsafat hanya berarti bahwa mereka akan lebih mudah jatuh dalam perangkap prasangka-prasangka yang mengepung mereka. Sudah terlalu sering ide-ide para ilmuwan ini ditunggangi untuk mendukung posisi politik yang paling reaksioner. Ini sangat jelas terjadi dalam bidang genetika di mana satu kontra-revolusi yang ganas telah terjadi di Amerika Serikat. Teori-teori yang disebut ilmiah telah digunakan untuk “membuktikan” bahwa kriminalitas disebabkan, bukan oleh kondisi sosial, bukan karena adanya diskriminasi, melainkan oleh karena adanya “gen kriminal”. Kaum kulit hitam disebut tidak beruntung, bukan karena mereka mengalami diskriminasi, melainkan karena kekurangan genetik mereka. Argumen yang sama digunakan juga untuk orang-orang miskin, perempuan-perempuan yang mengasuh sendiri anaknya, kaum perempuan secara umum, kaum homosexual, dan lain-lain. tentu saja, “ilmu” semacam itu sangatlah berguna bagi Kongres yang didominasi oleh orang-orang Republik, yang sangat bergairah untuk memotong anggaran kesejahteraan rakyat.
Buku ini adalah buku tentang filsafat – lebih tepatnya, filsafat Marxisme, materialisme dialektik. Bukan urusan filsafat untuk menguliahi para ilmuwan apa yang harus mereka pikir atau tulis, setidaknya ketika mereka sedang menulis dan berpikir tentang ilmu pengetahuan. Tapi para ilmuwan punya kebiasaan untuk menyatakan pendapat mengenai segala macam hal – filsafat, agama, politik. Mereka memang sangat berhak untuk melakukannya. Tapi, ketika mereka menggunakan kewibawaan ilmiah mereka untuk membela pandangan filsafat yang reaksioner, tibalah waktunya untuk menempatkan segala sesuatu sesuai konteksnya. Pernyataan-pernyataan mereka tidak akan tetap tinggal di tangan mereka. Para politisi sayap kanan, orang-orang rasis dan kaum religius-fanatik akan dengan bersemangat meraup pernyataan-pernyataan itu untuk membentengi diri mereka dengan argumen-argumen palsu berkedok ilmiah.
Para ilmuwan sering mengeluh bahwa mereka selalu disalahpahami. Mereka tidak hendak menyediakan amunisi bagi para penipu mistis dan politikus kotor itu. Mungkin keberatan itu benar. Tapi, dalam hal ini, mereka tetaplah bersalah karena keteledoran mereka, atau pada tingkat yang paling rendah, karena kenaifan mereka yang parah. Di pihak lain, mereka yang menggunakan pandangan falsafah yang keliru dari para ilmuwan itu tidak dapat dikatakan naif. Mereka tahu persis di mana mereka berdiri. Rees-Mogg menyatakan bahwa “sejalan dengan semakin ditinggalkannya agama konsumerisme sekular, seperti mobil yang telah berkarat, agama-agama yang lebih keras yang melibatkan prinsip-prinsip moral yang keras dan tuhan-tuhan yang pendendam akan kembali ke panggung. Untuk pertama kalinya selama berabad-abad pengungkapan yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan akan memperkuat, dan bukannya memperlemah, dimensi spiritual dalam hidup.” Bagi Rees-Mogg, agama adalah sebuah senjata yang kukuh untuk mengikat kaum yang kurang beruntung di tempat mereka, di sisi para polisi dan penjara-penjara negara. Ia sangat tegas tentang hal ini:
“Semakin rendah kemungkinan untuk pergerakan sosial ke atas, semakin rasional bagi kaum miskin untuk menganut pandangan dunia yang anti-ilmiah dan penuh khayalan. Bukannya memakai teknologi, mereka menggunakan sihir. Bukannya memilih telaah yang dilakukan sendiri, mereka memilih membebek pada pemikiran-pemikiran ortodox. Bukannya mempercayai sejarah, mereka mempercayai mitos. Bukannya mengagumi biografi, mereka memuja para pahlawan. Dan mereka biasanya mengalihkan keterikatan tingkah-laku berdasarkan kekerabatan dengan kejujuran impersonal yang dituntut oleh pasar.”[iv]
Mari kita sisihkan dulu lawakan tentang “kejujuran impersonal” yang dituntut oleh pasar, dan memusatkan diri pada inti argumennya. Setidaknya, Rees-Mogg tidak mencoba menutupi niat sejatinya atau sudut pandang kelasnya. Di sini kita lihat satu keterusterangan yang luar biasa dari seorang pembela sistem yang berkuasa. Terciptanya satu kelas bawah yang miskin, pengangguran, yang kebanyakan adalah kulit hitam, yang hidup di kampung-kampung kumuh, merupakan satu ancaman yang sangat berpotensi meledakkan sistem sosial yang ada. Kaum miskin itu, untungnya bagi kita, bodoh. Dan mereka harus dijaga agar tetap bodoh, dan didorong untuk semakin percaya pada tahyul dan khayalan-khayalan religius yang kita, dari “kelas terpelajar” ini, sama sekali tidak percaya! Pesan ini, tentunya, bukanlah hal yang baru. Nyanyian ini telah diperdendangkan oleh kaum yang kaya dan berkuasa selama berabad-abad. Tapi, yang harus digarisbawahi adalah rujukan kepada ilmu pengetahuan yang, seperti dinyatakan Rees-Mogg, kini untuk pertama kalinya dilihat sebagai kawan aliansi yang penting bagi agama.
Baru-baru ini, fisikawan teoretis Paul Davies dianugerahi hadiah sebesar £650.000 oleh Templeton Prize for Progress in Religion, karena ia telah menunjukkan “orisinalitas yang luar biasa” dalam memajukan pemahaman umat manusia atas Tuhan atau spiritualitas. Para pemenang sebelumnya adalah Alexander Solzhenitsyn, Ibu Theresa, penginjil Billy Graham, dan si pencuri dalam Skandal Watergate yang kini menjadi pendeta – Charles Colson. Davies, penulis dari buku-buku seperti God and the New Physics, The Mind of God, dan The Last Three Minutes, menegaskan bahwa ia “bukanlah seorang yang religius dalam makna yang konvensional” (apapun itu maknanya), tapi ia juga mempertahankan bahwa “ilmu pengetahuan menawarkan satu jalan yang lebih lapang menuju Tuhan ketimbang agama.”[v]
Mari kita sisihkan “jika” dan “tapi” dari Davies, dan kita akan melihat jelas bahwa ia mewakili satu kecenderungan tertentu, yang berusaha untuk menyuntikkan ajaran mistis dan agama ke dalam ilmu pengetahuan. Ini bukanlah satu gejala yang berdiri sendiri. Gejala ini sudah menjadi terlalu jamak, khususnya dalam bidang fisika teoritik dan kosmologi, di mana keduanya sangat tergantung pada model-model matematis abstrak yang semakin hari semakin dilihat sebagai pengganti penyelidikan empiris atas dunia nyata. Namun, untuk setiap penganut ajaran mistis di bidang ini, masih terdapat ratusan ilmuwan yang menganut prinsip-prinsip keilmiahan dengan setia, orang-orang yang akan ngeri membayangkan dirinya dituduh sebagai obskurantis [orang yang gemar menulis teori-teori yang sulit dipahami]. Satu-satunya pertahanan terhadap ajaran mistis idealis ini, bagaimanapun juga, adalah satu filsafat materialis yang sadar – filsafat materialisme dialektik.
Niat dari buku ini adalah untuk menjelaskan ide-ide dasar materialisme dialektik, yang pertama diungkap oleh Marx dan Engels, dan menunjukkan relevansinya dalam dunia modern, dan terhadap ilmu pengetahuan pada khususnya. Seperti Rees-Mogg yang membela kepentingan kelas yang diwakilinya, dan tidak mencoba mengenakan kedok apapun, demikian juga kami akan secara terbuka menyatakan diri kami sebagai penentang apa yang disebut “ekonomi-pasar” dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Kami adalah peserta aktif dalam perjuangan untuk mengubah masyarakat. Tapi sebelum kita dapat mengubah dunia, kita harus terlebih dahulu memahaminya. Sangatlah perlu untuk melancarkan perjuangan yang tak kenal ampun terhadap segala upaya untuk menyesatkan pikiran rakyat dengan kepercayaan-kepercayaan mistis yang berakar pada bagian paling kelam dalam sejarah pemikiran umat manusia. Ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang sampai tataran di mana ia sanggup membelakangi segala akumulasi prasangka yang diwarisi dari masa lalu. Kita harus berdiri kokoh melawan segala upaya untuk membalikkan waktu ke jaman empat ratus tahun yang lalu.
Semakin hari semakin banyak ilmuwan yang merasa gelisah dengan situasi dunia yang dihadapinya, bukan hanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, tapi juga dalam masyarakat secara luas. Mereka melihat kontradiksi antara potensi raksasa dari teknologi dan satu dunia di mana jutaan orang hidup di ambang kelaparan. Mereka melihat satu penyalahgunaan sistematik atas ilmu pengetahuan demi kepentingan keuntungan kaum monopolis besar. Dan mereka semestinya sangat gelisah melihat berlanjutnya usaha untuk menggiring para ilmuwan ke bawah naungan obskurantisme religius. Banyak dari mereka sangat jijik melihat watak birokratik dan totaliterian dari Stalinisme. Namun kejatuhan Uni Sovyet telah memperlihatkan bahwa alternatif kapitalis justru jauh lebih buruk lagi. Melalui pengalaman pribadi mereka, banyak ilmuwan akan sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk keluar dari kemandegan sosial, ekonomi dan budaya ini adalah melalui sejenis masyarakat yang terencana secara rasional, di mana ilmu dan teknologi ditempatkan sebagai pelayan umat manusia, bukan pelayan para pencari keuntungan pribadi. Masyarakat semacam itu haruslah demokratik, dalam maknanya yang paling sejati, dengan melibatkan pengendalian secara sadar dan partisipasi dari segenap populasi masyarakat. Sosialisme pada akar wataknya adalah demokratik. Seperti yang dikatakan oleh Trotsky “satu perekonomian nasional yang terencana membutuhkan demokrasi, seperti tubuh manusia membutuhkan oksigen.”
Tidaklah cukup sekedar merenungkan masalah-masalah dunia. Sangatlah perlu untuk mengubahnya. Bagaimanapun, pertama-tama perlulah untuk memahami alasan mengapa keadaan dunia ini menjadi begini. Hanya tubuh ide yang ditemukan oleh Marx dan Engels, dan kemudian digarap lebih lanjut oleh Lenin dan Trotsky yang akan menyediakan bagi kita alat yang cukup kuat untuk mencapai pemahaman ini. Kami percaya bahwa orang-orang yang paling punya hati nurani di tengah komunitas ilmiah, melalui kerja dan pengalaman mereka, akan tiba pada kebutuhan akan satu cara pandang atas dunia yang materialis dan konsisten. Apa yang ditawarkan oleh materialisme dialektik. Perkembangan mutakhir dari teorichaos dan kompleksitas menunjukkan bahwa semakin banyak ilmuwan yang bergerak ke arah pemikiran dialektikal. Ini adalah perkembangan yang maha penting. Tidak diragukan lagi bahwa penemuan-penemuan baru akan memperdalam dan memperkuat kecenderungan ini. Kami sangat kukuh dalam keyakinan kami bahwa materialisme dialektik adalah filsafat bagi masa depan.

Catatan Bagian Pertama:
[i] Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Correspondence [selanjutnya akan dirujuk sebagai MESC], Letter to Bloch, 21st-22nd September 1890,.
[ii] The Economist, 9th January 1982.
[iii] W. Rees-Mogg dan J. Davidson, The Great Reckoning, How the World Will Change in the Depression of the 1990s, p. 445.
[iv] Ibid., p. 27, penekanan dari kami.
[v] The Guardian, 9th March 1995
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Perspektif - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger