Jaminan Sosial di Indonesia Pasca Diberlakukannya ASEAN-China FTA - Perspektif
Headlines News :
Home » » Jaminan Sosial di Indonesia Pasca Diberlakukannya ASEAN-China FTA

Jaminan Sosial di Indonesia Pasca Diberlakukannya ASEAN-China FTA

Written By DPTK sepetak on Jumat, 26 November 2010 | 12.18

Oleh : Nuy Rebel 
Pada 05 November 2010

Diambil dari Jurnal AAMAI Edisi 39/Maret 2010 Halaman 30-36
Sebuah analisis singkat..
Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA) telah ditandatangani pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja oleh para Kepala Negara ASEAN dan RRC. Tujuan Framework Agreement ACFTA adalah (a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak; (b) meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif; (c) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. 

Kawasan perdagangan bebas atau disebut free trade area (FTA) antara negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN dan China sudah diberlakukan mulai 1 Januari 2010. FTA bakal menciptakan wilayah ekonomi dengan 1,7 milyar konsumen. Diperkirakan produk domestik bruto regional akan mencapai 2 trilyun US Dollar. Bila dilihat dari kapitalisasi pasar, FTA menjadi pasar terbesar di dunia dari sisi populasi. Sejak ditandatangani, kerja sama perdagangan bebas 10 negara ASEAN dan China diproyeksikan akan mencetak nilai perdagangan sebesar 1,3 trilyun US Dollar. Bagi Indonesia, FTA bisa jadi awan hitam bila melihat membengkaknya defisit perdagangan Indonesia-China sebesar 3,61 milyar US Dollar pada tahun 2008. Padahal ketika Indonesia menyetujui perjanjian FTA pada tahun 2004, Indonesia masih surplus 0,5 milyard US Dollar. Terkait FTA, pemerintah selalu menampakan sikap optimis di tahun 2010, meskipun perekonomian nasional terus mendapat tekanan dari goncangan eksternal sepanjang tahun 2009. Sikap demikian bisa dimengerti urgensinya, yakni mengelola ekspektasi, karena kepanikan otoritas ekonomi akan dengan mudah menyebar kepada masyarakat dan pelaku bisnis. Bahkan, kepanikan pelaku ekonomi di satu sub-sektor, apalagi jika melanda sektor perbankan yang memiliki peran amat strategis di sektor keuangan dan sektor riil, dengan cepat menjadi bersifat dramatis dan sistemik. 

Di tahun 2010 ini, Pemerintah percaya perekonomian Indonesia akan tumbuh pesat. Pemerintah mentargetkan pertumbuhan sebesar 6,4% pertahun, meski menurut kalangan ekonom lebih moderat bila ditargetkan pertumbuhan pada kisaran 4%. Pemerintah percaya ekonomi Indonesia tidak akan banyak terpengaruh oleh beberapa gejolak eksternal yang sebenarnya sudah mulai berlangsung. Sekalipun sedikit merosot, masih ada keyakinan atas daya tahan perekonomian domestik dalam menghadapi dampak buruk krisis keuangan global yang semakin meluas. Argumen dasar yang berulangkali dikemukakan adalah bahwa dasar ekonomi Indonesia sekarang ini sudah kuat.

Sedikit Fakta
Merujuk kepada Wikipedia Indonesia, “Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgia, dimana penjualan produk antar negara diberlakukan tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.
Dalam prakteknya, perdagangan bebas seringkali diliputi oleh mitos-mitos agar dapat diterima yang lebih lanjut dijelaskan oleh Mansour Fakih (2003) bahwa mitos-mitos itu diantaranya adalah:
  1. Perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi. Kenyataan yang terjadi bahwa perdagangan bebas justru meningkatkan harga pangan.
  2. WTO dan TNC akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan penggunaan pestisida secara berlebih dan pangan hasil rekayasa genetik justru membahayakan kesehatan manusia dan juga keseimbangan ekologis.
  3. Kaum permpuan akan diuntungkan dengan pasar bebas pangan. Kenyataannya, petani perempuan semakin tersingkir baik sebagai produsen maupun konsumen.
  4. Bahwa paten dan hak kekayaan intelektual akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataannya, paten justru memperlambat alih teknologi dan membuat teknologi menjadi mahal.
  5. Perdagangan bebas di bidang pangan akan menguntungkan konsumen karena harga murah dan banyak pilihan. Kenyataannya justru hal itu mengancam ketahanan pangan di negara-negara dunia ketiga.

Kondisi di Indonesia
Barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia saat ini terdiri dari jutaan jenis. Ada barang yang berasal dari produksi pertanian, industri pengolahan dan dari penggalian. Bisa berasal dari lahan petani kecil, produksi rumah tangga, maupun dari produksi perkebunan besar dan industri yang bersifat korporasi. Macam jasa pun demikian, mulai dari jasa pedagang kecil sampai dengan jasa konsultan keuangan bagi korporasi.
Perlu juga diperhatikan bahwa penghitungan PDB bersifat arus (flow), yaitu kuantitas per kurun waktu. Ini berbeda dengan penghitungan yang bersifat persediaan (stock), yaitu kuantitas pada suatu waktu atau tanggal tertentu. Misalnya, kekayaan suatu negara yang secara teoritis bisa dihitung pada tanggal tertentu akan bersifat persediaan. Suatu negara mungkin saja memiliki kekayaan yang besar, akan tetapi memiliki penghasilan per tahun yang tergolong masih rendah. Sebagaimana yang dialami Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpahnya. Selain itu, perhitungannya pun berbasis wilayah geografis, yaitu semua produksi di wilayah Indonesia, tidak menjadi soal siapa yang memproduksinya, meskipun pihak asing.
Dalam kurun waktu 2004-2009, tercipta lapangan kerja baru sebanyak 8,83 juta orang (dari 93,72 juta menjadi 102,55 juta). Sementara angkatan kerja bertambah sebanyak 7,98 juta orang (dari 103,97 juta menjadi 111,95 juta). Dengan kata lain, lapangan kerja baru yang tersedia hanya sedikit diatas laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada Agustus 2008, ada 31,09 juta orang setengah pengangguran atau 27,77%. Terdiri dari setengah pengangguran terpaksa sebanyak 14,92 juta orang dan setengah pengangguran sukarela sebanyak 16,17 juta orang. Selama empat tahun pemerintahan, jumlah pengangguran hanya berhasil dikurangi sebanyak 2,27 juta.
Sementara itu, angka setengah pengangguran justru mengalami perkembangan yang lebih buruk, bertambah sebanyak 3,14 juta orang. Jika melihat komposisi antara pekerja formal dan informal, maka tampak tidak adanya perbaikan yang berarti, meski sempat ada sedikit perbaikan dalam dua tahun pertama. Jumlah pekerja formal pada Agustus 2004 adalah sebanyak 28,43 juta orang atau sebesar 30,33%, sedangkan pekerja informal adalah sebanyak 65,30 juta orang atau sebesar 69,67% dari mereka yang bekerja.
Dari pengalaman masa lalu Indonesia dan pengalaman negara berkembang lain, peran pasar dan peran pemerintah sama-sama diperlukan untuk menjamin keadilan ekonomi bagi masyarakat negara bersangkutan. Selalu bisa terjadi ”kegagalan pasar” dan ”kegagalan Pemerintah”. Jangan sampai pengalaman mutakhir tentang keburukan pasar bebas membuat kita mendekat kembali kepada suatu bentuk pemerintah yang serba tahu dan serba mengatur, yang pada gilirannya akan mengecewakan kita kembali. Jelas bahwa yang menjadi kaidah dasar adalah peran pemerintah yang semacam apa secara lebih detil dan pengembangan mekanisme pasar atas apa saja yang perlu didorong agar perekonomian bisa tumbuh pesat sehingga dapat menjamin rasa keadilan bagi seluruh rakyat.
Di sisi lain, keadilan ekonomi yang diimpikan adalah kesejahteraan yang semakin merata. Jika kuenya membesar, maka pembagiannya harus semakin membaik. Pasar secara empiris memiliki kecenderungan yang lebih baik dalam memperbesar kue dan Pemerintah cenderung lebih baik dalam membaginya. Kaum wiraswasta adalah unsur utama bagi penciptaan kue besar sebuah perekonomian, dan akan sangat ideal jika mereka memiliki rasa ingin berbagi yang dilandasi oleh nilai luhur, tidak semata oleh tujuan ekonomis.

Pelajaran dari China
Di tahun 2008, dalam persiapan menuju ekonomi pasar, pemerintah China melakukan reformasi dalam sistem jaminan sosial yang bertujuan untuk memproteksi rakyatnya. China melakukan hal tersebut karena mereka dalam masa transisi dari penerapan sistem perencanaan ekonomi atau sistem ekonomi komando menjadi sistem ekonomi pasar. Ekonomi pasar bekerja atas dasar mekanisme pasar dimana seluruh aktivitas ekonomi didasarkan pada persaingan, efisiensi dan penggunaan teknologi tinggi yang pada akhirnya membawa dampak terhadap perubahan cepat di segala bidang. Namun perubahan cepat di segala bidang juga harus diimbangi dengan kesiapan dan kualitas sumber daya manusia. Jangan sampai terjadi masalah pengangguran terbuka yang lama, PHK masal dan inflasi tinggi sebagai dampak dari penerapan ekonomi pasar yang hanya sekedar mengejar pertumbuhan output dan pengembalian/laba dalam jangka pendek. Sistem perencanaan ekonomi pada umumnya memiliki program jaminan sosial yang jauh lebih baik dan jauh lebih pasti sebagaimana dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas jaminan sosial, karena adanya jaminan pekerjaan sebagai konsekuensi penerapan sistem perencanaan ekonomi. Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh pelaku ekonomi dalam praktek terkait dengan terbatasnya inovasi dari bawah, hierarkhi dan mata rantai birokrasi pemerintahan yang menghambat inovasi dari bawah.
Pemerintah China pun menjamin kesempatan kerja atau sekurang kurangnya mempertahankan agar tidak terjadi PHK dalam krisis finansial global sebagai konsekuensi menuju sistem ekonomi pasar. Karena jika inovasi yang cepat tidak dimbangi oleh kesiapan/kompetensi SDM yang tinggi, maka akan menimbulkan masalah distorsi ekonomi yang berimbas kepada rakyat yang akan semakin menderita dan miskin karena dampak dari penerapan sistem ekonomi pasar yang berorientasi pada pertumbuhan yang berbasis pada inovasi. Oleh karena itulah, rakyat harus terlebih dahulu diproteksi melalui perluasan kepesertaan universal dalam sistem jaminan sosial agar siap menghadapi risiko sistemik sebagai dampak dari ekonomi global. Adapun prioritas kepesertaan ditujukan bagi proteksi penduduk pedesaan yang sebagian besar merupakan petani dan nelayan agar memiliki akses langsung pada pelayanan kesehatan dan program pensiun. Jika tidak, maka petani dan nelayan akan semakin tertinggal penghasilannya karena sifat dari sistem ekonomi pasar yang hanya memberikan perlindungan bagi karyawan sektor ekonomi formal.
Perluasan sistem jaminan sosial tersebut pada akhirnya telah membentuk proteksi sosial yang terdiri dari jaminan sosial bagi karyawan perusahaan, petani-nelayan, bantuan sosial bagi penduduk miskin dan program suplemen untuk pensiun. Program suplemen untuk pensiun disarankan bagi karyawan perusahaan di perkotaan untuk menambah atau melengkapi terhadap manfaat pensiun yang diterima jika dirasakan tidak mencukupi sehingga bias ditutup dengan program suplemen. Dibentuknya program suplemen ditujukan untuk mengantisipasi masalah ageing population yang biasanya terjadi pada kelompok karyawan perusahaan di perkotaan. Sekalipun pemerintah telah membentuk dana cadangan pensiun yang dananya diambil dari APBN dan diserahkan kepada Dewan Dana Jaminan Sosial Nasional untuk pengelolaan lebih lanjut ke arah investasi yang produktif, akan tetapi dana tersebut tetap dikelola atau berada pada Dewan Dana Jaminan Sosial Nasional, dalam arti tidak ditransfer ke akun peserta.

Konklusi
Berbagai studi menunjukkan bahwa ASEAN-China FTA, jika dilaksanakan dengan penuh perhitungan dan kerjasama yang baik, akan membawa lebih banyak keuntungan daripada kerugian di kedua belah pihak, termasuk Indonesia. Namun melihat berbagai fakta yang ada di Indonesia?pasca berlakunya ASEAN-China FTA per 1 Januari 2010?muncul kekhawatiran akan meningkatnya pengangguran di Indonesia sebagai akibat kalah bersaingnya barang/jasa domestik dengan barang/jasa impor (regional), kurang siapnya kompetensi SDM di Indonesia dan belum kuatnya pondasi sistem ekonomi Indonesia, bahkan dinilai ASEAN-China FTA malah akan membawa ancaman/bencana bagi Indonesia. Meskipun hal-hal tersebut di atas merupakan risiko yang sudah pernah diperhitungkan sebelumnya, namun tetap saja seharusnya risiko-risiko tersebut dapat dihindari/minimal dialihkan jika saja penerapan sistem jaminan sosial di Indonesia sudah berlangsung secara komprehensif, seperti yang diamanatkan UUD 1945 dan UU No. 40/2004.
China, sebelum merubah sistem perekonomiannya menjadi sistem ekonomi pasar, sudah terlebih dahulu mengantisipasi risiko-risiko sosial yang mungkin akan timbul di era pasar/perdagangan bebas dengan mereformasi sistem jaminan sosialnya, sehingga saat ini petani dan nelayan sudah dapat menikmatinya. Bandingkan dengan Indonesia saat ini, baru sekitar 95,1 juta atau sekitar 43% dari 220 juta penduduk yang tercakup oleh berbagai skema jaminan kesehatan, dimana sekitar 17% adalah pekerja formal dan pegawai negeri sipil, sisanya adalah kelompok miskin yang tercakup oleh skema “semi-formal” seperti Jamkesmas dan JPKM. Artinya, masih ada sekitar 57% (115 juta) penduduk Indonesia yang belum tercakup oleh jaminan kesehatan. Pepatah lama mengatakan, “Tuntutlah ilmu, walaupun harus sampai ke negeri China”, seharusnya inilah yang kita ikuti.
Optimalisasi jaminan sosial di Indonesia haruslah menjadi prioritas di tahun 2010 ini, baik dalam hal kepesertaan, program, maupun manfaatnya. Hal ini tak lain adalah untuk menghindari risiko sosial-ekonomi yang akan semakin besar jika terjadi hal buruk, seperti meledaknya angka pengangguran di Indonesia. Terlebih lagi, jaminan sosial adalah hak/kebutuhan dasar setiap warga negara?kaya maupun miskin; tua maupun muda; sakit maupun sehat. Jaminan sosial juga merupakan tugas Pemerintah yang tertuang di dalam UUD 1945 dan UU 40/2004, sehingga jika tidak dilaksanakan merupakan suatu pengkhianatan terhadap UUD dan masyarakat.
Namun, komitmen dari pihak mana pun untuk menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akan percuma, jika tidak dibarengi/dilandasi dengan konsistensi untuk melaksanakan komitmen tersebut. Peran pemerintah, inisiatif DPR/MPR, komitmen dan konsistensi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta moral force dari masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan agar SJSN dapat berjalan secara bertahap mulai tahun 2010 ini. Kita pun harus menginsyafi diri kita dari pertanyaan-pertanyaan klasik yang sudah pernah dikemukakan sejak 5 (lima) tahun lalu, seperti pertanyaan apa peran Pemerintah Daerah, apakah status badan hukum ini nantinya, dan lain-lain. Karena sementara kita terus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, ratusan juta rakyat Indonesia diluar sana akan semakin menderita karena tidak adanya jaminan sosial. Belum lagi harga yang harus kita bayar mahal jika efek negatif dari berlangsungnya ASEAN-China FTA terjadi, seperti yang sudah kita bahas di atas
Satu lagi pelajaran dari China, “Jika ingin hasil untuk 1 tahun, tanamlah sayuran. Jika ingin hasil untuk 10 tahun, tanamlah pohon buah. Dan jika ingin hasil untuk 100 tahun, maka tanamlah manusia”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Perspektif - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger